1 Tahun Invasi Rusia ke Ukraina: Menguak Hipokrisi Amerika
Dari perang terbuka Rusia melawan Ukraina yang didukung AS dan Uni Eropa ini, publik dunia juga semakin bisa melihat bahaya dominasi dolar AS sebagai mata uang dunia; isolasi dan sanksi ekonomi, keuangan, energi, dan perdagangan AS dan sekutunya terhadap Rusia tanpa peduli dengan dampak serius yang ditimbulkannya terhadap perekonomian banyak negara yang tak kebal akan dampak perubahan iklim dan pandemi COVID-19; diskriminasi dan bias supremasi kulit putih dalam penanganan pengungsi korban perang; serta kerentanan ketahanan energi dan pangan banyak negara yang selama ini cenderung mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan energi dan pangan dalam negerinya.
Tidak hanya itu. Perang yang pecah di negara terbesar kedua di Benua Eropa setelah Rusia ini juga menunjukkan keengganan AS dan sekutu Eropa Baratnya untuk secara langsung bertempur melawan Rusia -- negara pemilik senjata nuklir dan salah satu dari lima pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Bak permainan catur, AS, UE, dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berupaya menyelamatkan muka mereka di mata rakyat Ukraina dan komunitas internasional dengan membantu Ukraina yang babak belur dan terseok-seok menghadapi kekuatan militer Rusia itu melalui sanksi ekonomi, bantuan persenjataan dan keuangan, penanganan pengungsi, pemboikotan dan isolasi terhadap kanal media berpengaruh Rusia dan keikutsertaan skuad negara itu di Piala Dunia FIFA 2022, serta kampanye narasi bahwa Putin adalah "penjahat perang" – narasi yang sudah barang tentu ditolak tegas Rusia.
Menanggapi narasi penjahat perang yang pertama kali disuarakan Presiden Joe Biden pada 16 Maret 2022 itu, Moskow membalasnya dengan menyindir Gedung Putih yang tangannya berlumuran darah ratusan ribu jiwa warga sipil yang tewas oleh bom-bom AS di berbagai belahan dunia.
Kementerian Luar Negeri Rusia pun memanggil Duta Besar AS di Moskow John Sullivan untuk menyerahkan nota protes seraya mengingatkan konsekuensi dari tuduhan Biden itu terhadap masa depan hubungan kedua negara.
Hipokrisi Amerika: Impor dan Azov
Di balik berbagai aksi dan manuver Gedung Putih ini, ternyata AS diam-diam tetap mengimpor minyak mentah dari Rusia. Bahkan, menurut laporan Energy Information Administration (EIA) AS yang dikutip RT, volume impor minyak AS dari Rusia itu meningkat 43 persen pada 19-25 Maret 2022 dengan pasokan per hari mencapai 100 ribu barel (CNBC Indonesia, 2022).
Hipokrisi lain Amerika yang ikut terkuak dari perang yang disulut operasi militer khusus Rusia ini adalah adanya indikasi kuat dukungan Pemerintah AS melalui badan inteligen CIA kepada Detasemen Operasi Khusus Azov di Ukraina selama bertahun-tahun.
Di balik berbagai aksi dan manuver Gedung Putih terkait perang di Ukraina, ternyata Amerika Serikat diam-diam tetap mengimpor minyak mentah dari Rusia
- Indonesia Merapat ke BRICS, Dubes Kamala Tegaskan Sikap Amerika
- Ngebet Usir Imigran, Donald Trump Bakal Kerahkan Personel Militer
- Trump Bakal Menghukum Petinggi Militer yang Terlibat Pengkhianatan di Afghanistan
- Joe Biden Izinkan Ukraina Pakai Rudal Jarak Jauh AS untuk Serang Rusia
- Medali Debat
- Prabowo Bertemu Joe Biden, Bahas Situasi di Gaza