17 Tahun di Taman Lawang, Kini Merintis Jadi Pengacara
Sabtu, 21 Agustus 2010 – 08:08 WIB
Baca Juga:
Ada dua perangkat komputer di kantor FKWI. Di dindingnya dipajang foto-foto Yuli dan aktivitas FKWI. Di antarannya, saat Yuli diwisuda sebagai sarjana hukum Universitas At Tahiriyah, Jakarta. "Kalau siang begini, salon sepi. Tapi, kalau malam atau akhir pecan, rumah saya ramai," ujarnya.
Dalam beraktivitas di salon maupun di sekretariat FKWI, Yuli didampingi tiga staf. Ketiganya juga waria. Tapi, Yuli membuka diri bila ada waria lain yang ingin menumpang tinggal di rumahnya. Yuli bercerita, dirinya membangun rumah itu bersama teman-temannya dari nol. "Sejak masih tanah kosong," tutur dia.
Awalnya, dia kesulitan mencari rumah yang bisa dipakai untuk tempat kumpul-kumpul komunitas waria. "Sebab, masyarakat masih menganggap kami ini sampah atau pembawa malapetaka," katanya.
Komunitas transgender alias kaum waria masih dipandang sebelah mata masyarakat Indonesia. Hinaan, cacian, dan pengucilan adalah "makanan"
BERITA TERKAIT
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408