19 Tahun Hidup di Pulau Tikus, Kesetiaan Kalahkan Ketakutan

Di sela-sela obrolan dengannya, saya terdiam sejenak. Tak habis pikir, kenapa pasangan yang sudah memasuki usia pensiun ini, memilih hidup di sebuah pulau, di tengah laut.
Padahal ini sangat beresiko terhadap keselamatannya. Misalnya saja, bila tiba-tiba ada gempa dan tsunami. Kemana mereka harus menyelamatkan diri.
Padahal bila laut pasang saja, ketinggian air mencapai 2 meter, hampir rata dengan daratan pulau itu.
Pandangan saya kembali tertuju pada Nurhayati. Dia sedang mengangkat ceret dari tungku.
Air panas sudah mendidih. Dia menawarkan kepada saya untuk dibuatkan kopi. Tapi, dengan halus saya menolak, takut merepotkan.
Kemudian saya bertanya, apa tidak takut sudah 19 tahun hidup di pulau ini?
Nurhayati menceritakan, selama ini bukan tak merasa takut hidup di tengah laut. Sebagai manusia, rasa takut itu tetap ada.
Tapi, sejak tahun 1997, dia memilih mendampingi suaminya tercinta itu, untuk tinggal di pulau yang memilik jarak 10 Km dari pusat Kota Bengkulu, dan terhubung langsung dengan Samudera Hindia ini. Ini soal kesetiaan istri terhadap suami.
KESETIAAN sebagai pasangan suami istri mengalahkan rasa takut. Ganasnya ombak laut yang menerjang Pulau Tikus tak membuat nyalinya ciut. Berikut
- Semana Santa: Syahdu dan Sakral Prosesi Laut Menghantar Tuan Meninu
- Inilah Rangkaian Prosesi Paskah Semana Santa di Kota Reinha Rosari, Larantuka
- Semarak Prosesi Paskah Semana Santa di Kota Reinha Rosari, Larantuka
- Sang Puspa Dunia Hiburan, Diusir saat Demam Malaria, Senantiasa Dekat Penguasa Istana
- Musala Al-Kautsar di Tepi Musi, Destinasi Wisata Religi Warisan Keturunan Wali
- Saat Hati Bhayangkara Sentuh Kalbu Yatim Piatu di Indragiri Hulu