35.000 Triliun Hilang dalam Tiga Hari
Katakanlah ada satu lembar saham seharga 1.000. Dia hanya punya uang 300. Maka dia nekat beli saham itu dengan pinjam ke bank 700. Berdasar pengalaman setahun sebelumnya, harga saham itu dalam setahun sudah menjadi 2.000. Dia bisa jual saham itu. Utang pun lunas. Masih punya saldo pula. Seperti itulah praktik margin trading itu.
Di saat harga saham di Tiongkok mencapai puncaknya 12 Juni lalu tiba-tiba banjir saham. Rupanya pedagang saham besar menjual saham secara besar-besaran. Untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Harga pun jatuh. Pasar panik. Semua ingin jual saham. Harga hancur. Bank pun menyita saham-saham yang dibeli dengan uang pinjaman bank. Banyak orang yang tiba-tiba kehilangan saham. Bahkan masih punya utang di bank.
Kalau ada uang Rp 10.000 triliun yang hilang, siapa yang untung begitu besar? Masih belum ada yang mengaku. Tapi, para ahli menganalisis pemain-pemain besar dunia dari Amerika-lah yang paling ahli memainkan pasar modal yang masih berusia muda dan belum banyak pengalaman seperti Tiongkok.
Jumat lalu muncul karikatur di harian resmi Partai Komunis China, seekor kerbau perkasa (melambangkan pasar saham New York) yang lagi mengamuk. Timur Tengah yang digambarkan di belakang kerbau tersebut sudah dalam keadaan berantakan. Di depan kerbau digambarkan Asia. Maksudnya, setelah berhasil menghancurkan Timur Tengah, sang kerbau siap menghancurkan Asia.
Kalau analis masih sulit menganalisis siapa yang untung, mereka tidak sulit melihat siapa yang menderita kerugian terbesar. Orang terkaya Tiongkok asal Dalian, Wang Jianlin, kehilangan kekayaan sebesar Rp 80 triliun hanya dalam waktu tiga hari. Wang adalah tokoh yang tahun lalu membeli saham klub sepak bola Spanyol Atletico Madrid.
Perempuan terkaya Tiongkok Zhou Qunfei, pendiri Lens Technology, kehilangan separo kekayaannya yang Rp 90 triliun. Zhou kehilangan kekayaan Rp 40 triliun dalam tiga hari. Tapi, dia masih punya kekayaan Rp 50 triliun.
Tentu lebih banyak para pembeli saham dari masyarakat biasa yang meskipun kehilangan kekayaannya cuma jutaan rupiah, tapi itu sudah meliputi seluruh kekayaannya. Bahkan masih punya utang di bank. Jutaan masyarakat biasa yang menderita seperti itu.
Saat tulisan ini terbit, saya masih di Tiongkok. Tepatnya di Rumah Sakit Tianjin. Untuk kontrol rutin enam bulan sekali setelah menjalani transplantasi hati di rumah sakit tersebut delapan tahun lalu. Saya tidak merasakan gejolak pasar modal itu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Ekonomi juga berputar seperti tidak terjadi apa-apa.