4 Catatan Kritis FSGI soal Bibit Radikalisme di Sekolah

Kedua, guru terjebak kepada pembelajaran yang satu arah. Maksudnya adalah pratik pembelajaran di kelas masih berpusat pada guru (teacher centered learning).
Guru menerangkan pelajaran, siswa mendengar. Guru tahu, siswa tidak tahu. Guru selalu benar dan siswa bisa salah.
Relasi pembelajaran yang terbangun antara guru dan siswa adalah relasi guru superior dan siswa inferior. Pola seperti ini masih banyak ditemukan oleh FSGI di sekolah-sekolah.
Tidak tercipta pembelajaran dialogis antara siswa dan guru. Penyemaian radikalisme terjadi ketika guru terbiasa mendoktrin pelajaran, apalagi dalam ilmu sosial dan agama.
Tidak terbangunnya suasana pembelajaran dialogis, mendengarkan pendapat argumentasi siswa.
Ketiga, sikap siswa yang terbuka terhadap praktik intoleransi mulai berkembang di kelas ketika diajar oleh guru yang membawa pandangan politik pribadinya ke dalam kelas.
“Guru mengajar, sambil menjelaskan materi kemudian menyisipkan pilihan-pilihan politik bahkan sikap politik pribadinya terkait calon presiden atau komentar terkait aksi terorisme yang terjadi bahwa ini adalah pengalihan isu atau mendukung konsep negara khilafah, bahkan bersimpati terhadap ISIS," ungkap Heru.
Keempat, masuknya bibit radikalisme karena sekolah cenderung tidak memperhatikan secara khusus dan ketat perihal kegiatan kesiswaan, apalagi terkait keagamaan.
FSGI memberikan empat catatan kritis terhadap pemerintah dan penyelenggara pendidikan dalam upaya menangkal radikalisme di sekolah
- Gubernur Banten Andra Soni Terus Awasi Kinerja Kepsek, Siapkan Reward dan Punishment
- PNM Wujudkan Dukungan untuk Pendidikan Berkualitas lewat Ruang Pintar
- EF Kids & Teens Kini Menjadi English 1, Wajah Baru Pendidikan Bahasa Inggris
- Kemenkes di Guest Lecture U-Bakrie: Mahasiswa Harus Terlibat Aktif Dalam Kampanye Kesehatan Mental
- Gelar Topping Off, Sekolah Terpadu Sedaya Bintang Siap Buka Tahun Ajaran 2025/2026
- Waka MPR Dorong Pengembangan Kompetensi Berkelanjutan Bagi Guru Harus Dijalankan