70 Tahun Hubungan Indonesia-Australia yang Penuh Kesalahpahaman

70 Tahun Hubungan Indonesia-Australia yang Penuh Kesalahpahaman
Hubungan Indonesia dan Australia telah mengalami naik turun hingga berakhir pada pertentangan. (Foto: Australia Indonesia Centre)

Kedua pemimpin negara memang biasanya tidak perlu hadir saat penandatanganan, tapi absennya Presiden Jokowi dan PM Scott Morrison telah dibanding-bandingkan saat Australia melakukannya dengan Korea Selatan, China, dan Jepang.

"Ada banyak ruang untuk memperdalam hubungan perdagangan dan investasi, karena kita adalah dua negara dengan ekonomi terbesar di kawasan ini," kata Marise Payne, Menteri Luar Negeri dalam sebuah konferensi pers.

Di Australia, ratifikasinya sudah dilakukan pada Desember 2019, tapi di Indonesia masih harus menunggu persetujuan dari anggota parlemen di Senayan, yang sebelumnya dijadwalkan sebelum 2020.

Dijuluki sebagai Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia, kesepakatan perdagangan akan mengurangi tarif pada hampir semua barang impor dan melonggarkan soal aturan kepemilikan asing di Indonesia.

Kesepakatan ini banyak ditentang oleh warga Indonesia, termasuk anggota parlemen, karena dianggap hanya akan mendahulukan kepentingan Australia dan khawatir pengurangan tarif malah akan membuat pasar kebanjiran produk Australia.

Para petani di Australia sudah lama ingin memiliki akses masuk, apalagi setelah hubungan Australia dan China yang memanas dalam beberapa bulan terakhir, meski mereka tahu kesepakatan dagang dengan Indonesia ini juga solusinya.

"Bukan hanya memiliki pangsa pasar, tapi apa yang terjadi setelahnya," ujar Fiona Simson, Presiden dari Federasi Petani Nasional.

"Ini adalah soal hubungan, jaringan, menaruh orang-orang penting kita disana."

Read in EnglishAustralia seringkali menganggap Indonesia sebagai tetangga paling penting dan sekutu paling strategis

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News