Ada yang Sejak 1949 Telateni Kopi

Ada yang Sejak 1949 Telateni Kopi
TELATEN - Setiap hari antara pukul 06.00-21.00 WIB, Michael Tjipto Martojo telah siap di belakang meja Eva Coffee House, untuk mengaudit keuangan dan stok barang. Foto: Pratono//Radar Semarang.
Dunia perkopian mulai masuk dalam kehidupannya setelah dia menikah dengan Sunarti. Ayah Sunarti, yakni lurah Bedono, memiliki kebun kopi yang luas. Setelah Belanda secara resmi mengakui kedaulatan RI pada 1949, Brigade 17 dibubarkan. Tjipto tidak meneruskan karirnya di dunia militer. Dia memilih kembali ke Bedono untuk menjalani kehidupan sebagai masyarakat biasa. Bersama istrinya, Tjipto kembali mengurus perkebunan kopi jenis robusta.

"Saya saat itu melihat banyak teman seperjuangan yang mengalami cacat fisik dan perhatian pemerintah terhadap teman-teman yang cacat ini sangat kecil. Karena itu, saya memilih untuk jadi petani saja, mengurusi kopi," cerita Tjipto terkait dengan latar belakang dirirnya meninggalkan dunia militer.

Dia kemudian teringat pelajaran ketika menjadi siswa sekolah dagang di Jogjakarta pada zaman penjajahan Belanda. Yakni, bagaimana mengolah sebuah barang menjadi lebih berharga. Karena dia memiliki kebun kopi, yang terlintas dalam benaknya adalah menjual produk kopi yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan hanya menjual biji kopi.

Akhirnya dia memutuskan untuk menjual kopi bubuk siap seduh sehingga konsumen tak perlu susah-susah lagi untuk menumbuk biji kopi jika ingin menikmati kopi tubruk. "Karena saat itu tidak ada perusahaan kopi bubuk, semua koperasi pemerintah pasti ambil kopi dari saya," tuturnya.

MEREKA ini sudah puluhan tahun menggeluti bisnis kopi. Salah seorang di antaranya memulai usaha sejak 1954. Kini, ketika umurnya hampir 90 tahun,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News