Aduh! Subsidi Minyak Goreng Dianggap Tak Tepat, Masalah Baru Muncul
jpnn.com, JAKARTA - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai implementasi kebijakan minyak goreng satu harga kurang tepat.
Rusli menyebut implementasi itu karena mendahulukan pasar ritel dengan minyak goreng kemasan.
Sementara itu, minyak goreng curahnya harganya masih tinggi.
"Pemerintah harus mengatasi masalah ini agar subsidinya merata," ungkap Rusli kepada JPNN.com, Kamis (27/1).
Rusli menyampaikan idealnyanya minyak goreng satu harga dilakukan di pasar tradisional karena menyasar kalangan menengah ke bawah, sehingga tidak terjadi panic buying.
Di samping itu, Rusli khawatir melihat kebijakan minyak goreng satu harga karena memberikan kerugian negara dengan subsidi yang terlalu besar.
Pemerintah, melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), telah menyiapkan dana sebesar Rp 7,6 triliun yang akan digunakan untuk membiayai penyediaan minyak goreng kemasan bagi masyarakat sebesar 250 juta liter per bulan atau 1,5 miliar liter selama enam bulan.
Apalagi, menurut Rusli implementasi seharusnya untuk kalangan menengah ke bawah di pasar tradisional dan minyak goreng curah sehingga subsidinya tidak bengkak menjadi Rp 7 triliun.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai implementasi kebijakan minyak goreng satu harga kurang tepat.
- INDEF: Dampak Kerugian Penyeragaman Rokok Bisa Tembus Rp 308 Triliun
- 5 Pilihan Minyak Goreng yang Aman untuk Penderita Kolesterol Tinggi
- Asosiasi Kedelai Indonesia Siap Dukung Ketahanan Pangan Nasional
- Industri Hasil Tembakau Merugi, Penerimaan Negara Bakal Terancam
- INDEF: Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dibuat Terburu-buru
- Prabowo Pengin Ekonomi Tumbuh 8 Persen? Ini Saran dari Dradjad Wibowo