Agar Tidak Terkaget-kaget Donald Trump
Oleh Dahlan Iskan
Mereka berpikirnya tembak langsung. Sebab-akibat. Tidak komprehensif. Mereka anggap berpikir komprehensif itu muter-muter.
Maka, tembak langsung saja. Salah harus dihukum. Membangkang diserang. Mengatasi membanjirnya imigran pun gampang: Bangun tembok. Mengatasi membanjirnya barang impor mudah: Larang! Mencari pengakuan: Siksa! Menjaga keamanan keluarga: Milikilah senjata di rumah! Karena itu, Obama gagal terus dalam usahanya membatasi kepemilikan senjata.
Rakyat senang dengan isu nilai-nilai keluarga seperti itu. Rakyat juga senang dengan jawaban tembak langsung. Seolah persoalan di depan mata langsung mendapati jalan keluar.
Keluarga Amerika sangat mendalam menghayati nilai keluarga seperti itu.
Realistis atau tidak soal lain. Mereka tidak bertanya: Apakah mungkin membangun tembok pembatas antarnegara sepanjang 1.500 km? Antara Amerika dan Meksiko itu. Apakah mungkin tidak ada impor barang? Apakah mungkin kalau semua orang punya senjata menjadi lebih aman?
Cara berpikir begitu menurun ke anak-cucu. Sebab, semua orang pada awal tumbuh berkembang di lingkungan keluarga. Nilai-nilai keluarga seperti itu terus terbawa. Termasuk ke dalam sikap sosial. Bahkan ke dalam sikap bernegara. Mereka mengidentikkan negara dengan sebuah keluarga. Harus ada bapak. Harus ada yang mendisiplinkan. Harus aman. Harus sejahtera. Harus kuat. Harus menang.
Bagi mereka, kemiskinan seseorang adalah akibat tidak disiplin. Tidak disiplin berarti malas. Malas berarti miskin. Miskin berarti lemah.
Karena itu, orang konservatif menilai kemiskinan adalah urusan keluarga. Bukan urusan sosial. Apalagi urusan negara. Karena itu, ideologi konservatif tidak mau pajak tinggi.