Agar Wujud Bulog Tidak Ka'Adamihi
Senin, 26 Maret 2012 – 01:11 WIB
Pak Marto Paimin, petani Dusun Karang Rejo, Desa Bener, Sragen, yang tahun ini menggarap sawah 0,7 ha, memperkirakan akan mendapat hasil (sekali panen) sekitar Rp 5 juta. Gabah yang sedang dia tumpuk di ruang tamu rumahnya itu kira-kira akan bernilai Rp 13 juta. Sedangkan biaya menggarap sawahnya, termasuk benih dan pupuk, menghabiskan maksimal Rp 8 juta.
Malam itu saya tidur dan ngobrol dengan asyiknya di rumah Pak Paimin. Sarapan oseng-oseng daun pepaya dengan tempe goreng secara lesehan di lantai sebelah tumpukan gabah benar-benar mengingatkan pada masa kecil saya. Lantai rumah tersebut, yang masih berupa tanah, dan dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu membuat udara malam itu cukup sejuk.
Tapi, mengapa gabah Pak Paimin masih ditumpuk? Tidak segera dijual? "Tunggu harga naik bulan depan, Pak," kata Pak Paimin. "Bulan depan harga akan lebih baik. Bisa mendapat tambahan kira-kira Rp 400.000," tambah Supomo, anak bungsunya yang kini hampir selesai membangun rumah gedung persis di depan rumah bapaknya itu.
Memang dia memiliki pinjaman pupuk dan benih dari BUMN PT Petrokimia Gresik. Tapi, masih ada waktu satu bulan lagi sebelum jatuh tempo. "Meskipun namanya yarnen (bayar di saat panen), kami memberikan kelonggaran satu bulan," ujar Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Sriwijaya Holding.
LUPAKAN gerbang tol. Ada yang lebih aktual yang harus kita dukung: pengadaan beras oleh Bulog. Saat ini petani lagi panen raya. Tindakan saya yang
BERITA TERKAIT