Ahok Gagal Paham
Unjuk rasa buruh baru-baru ini soal Peraturan Pemerintah No. 78 Tentang Pengupahan yang ditolak beramai-ramai misalnya. Begitu juga kebijakan menaikan harga BBM yang paling sering terjadi di Indonesia dewasa ini, memang keputusan pemerintah pusat. Gubernur dan DPRD selalu berargumen demikian untuk menunjukkan ketidakberdayaan pemerintah di Ibukota berikut daerah. Kita mengamini hal tersebut.
Namun seyogyanya pernyataan tersebut tak mengindikasi lepas tangannya sosok gubernur dari persoalan yang dihadapi masyarakat. Sebab entah dari mana sebuah kebijakan turun, deretan kemiskinan warga Ibukota, tak selalu lebih baik dari masyarakat daerah.
Ketiga, setiap unjuk rasa harus menyampaikan pendapatnya di muka umum, agar publik mengetahui, bahwa ada persoalan rakyat dalam kehidupan bernegara kekinian. Sebetulnya alasan-alasan picisan yang diungkap Ahok terkadang mirip pejabat “cengeng” yang menggerutu. Kalau tak mau disebut ingin mengembalikan watak “ORBA-isme”. Sebab bukan merespon akar persoalannya. Akan tetapi hanya berkisar pada soal-soal teknis semata-mata.
Jadi menurut Anda Ahok telah mengecilkan makna kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum?
Iya benar. Sebagai gubernur DKI pengganti Presiden Joko Widodo, Ahok telah mengecilkan makna kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum. Saya sebagai salah satu dari jutaan demonstran di Indonesia saat ini, menilai Ahok telah memaksakan kehendak, dan mengadakan makar terhadap konstitusi.
Dan saya perlu mengingatkan kembali, bahwa metode berpikir sebagai pejabat negara, ala Ahok, ataupun pejabat negara lainnya, dengan mengeluarkan aturan mengendalikan, membatasi kemerdekaan menyatakan pendapat, hanyalah semacam bentuk kepanikan menghadapi situasi kematangan berdemokrasi belakangan ini. Era transisi demokrasi nyaris usai. Rakyat sudah cerdas dan kritis, kemana harus menempuh jalan berpolitiknya. Maka diperlukan langkah-langkah yang tepat sebagai seorang gubernur, di mana barometer politik nasional, berada di wilayah kewenangannya.
Saran Anda?
Pertama, Ahok tak perlu mencari muka kepada Presiden Jokowi, melakukan upaya pelarangan hak berdemokrasi berbentuk apapun. Yang kini berwujud Pergub bernomor 228 tahun 2015. Mencabut Pergub tersebut, sebab hanya akan menambah nuansa kegaduhan di sekitaran Istana Negara.