Amendemen UUD 1945 Memerlukan Prasyarat Suasana Kebangsaan yang Kondusif
Oleh: Dr Ahmad Basarah
jpnn.com, JAKARTA - Wacana amendemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan GBHN model baru atau PPHN yang digulirkan MPR sejak 2014 lalu terus menuai pro-kontra di tengah masyarakat.
Ada dua kutub pendapat dan sikap masyarakat terkait wacana tersebut.
Pertama kelompok masyarakat yang setuju.
Kedua, kelompok masyarakat yang tidak setuju bangsa Indonesia kembali memiliki haluan negara dan haluan pembangunan nasionalnya dengan berbagai argumentasi dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
Mereka yang setuju menganggap Indonesia yang sangat besar dan banyak penduduknya ini tidak bisa rencana pembangunan nasionalnya hanya diserahkan kepada basis visi, misi dan program perseorangan calon presiden (Capres).
Kemudian ketika memenangi pemilu presiden, visi, misi dan program Capres tersebut diubah menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) selama lima tahun ke depan.
Walhasil, setiap ganti pemimpin, berganti pula program dan kebijakan pembangunannya.
Situasi tersebut menimbulkan ketidakpastian arah pembangunan nasional, dis-continuitas pembangunan dan sering terjadi mis-koordinasi antara konsep serta pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Bagaimana MPR seharusnya mengambil sikap atas rencananya melakukan amendemen terbatas UUD 1945 dalam situasi bangsa yang seperti itu?
- Lestari Moerdijat Tekankan Data Akurat dan Kolaborasi Antarlembaga Harus Dikedepankan
- Trump Bikin Gebrakan Hari Pertama, Langsung Teken Keppres agar AS Keluar dari WHO
- Eddy Soeparno Sebut Perdagangan Karbon Internasional Pilar Ekonomi Baru Indonesia
- Lestari Moerdijat Berharap Skema Baru yang Disiapkan Pemerintah Atasi Masalah PPDB
- Waka MPR: Presiden Prabowo Menjawab Keraguan dengan Pencapaian
- Setuju Ambang Batas Parlemen 4 Persen Dihapus, Eddy Soeparno: Bentuk Keadilan Demokrasi