Amnesty Sebut Diskriminasi Rohingya Sama Dengan Apartheid
Kebijakan Pemerintah Myanmar yang membatasi etnis Rohingya untuk bepergian, mendatangi rumah sakit atau mendapatkan pendidikan bisa digolongkan sebagai tindakan apartheid, demikian disampaikan Amnesty International.
LSM ini dari Bangkok merilis laporan berjudul Caged Without A Roof, yang merinci diskriminasi meluas sebelum terjadinya kekerasan yang menyebabkan 600.000 warga Rohingya lari ke Bangladesh.
"Pihak berwenang Myanmar memisahkan dan menggiring wanita, laki-laki dan anak-anak Rohingya sistem apartheid yang tidak manusiawi," kata Anna Neistat, direktur riset Amnesty International.
"Sistem ini tampaknya dirancang untuk membuat kehidupan warga Rohingya tidak berdaya dan mempermalukan mereka," katanya.
Warga Rohingya yang ingin pergi bepergian ke kota atau desa lainnya haruslah mengajukan izin, membayar biaya dan risiko penggeledahan di pos pemeriksaan, dimana Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) memperlakukan mereka sebagai "mesin uang berjalan".
"Saat melakukan penelitian untuk laporan ini, Amnesty International melihat langsung seorang penjaga perbatasan menendang seorang pria Rohingya di sebuah pos pemeriksaan," kata laporan tersebut.
"(Amnesty) mendokumentasikan setidaknya satu eksekusi di luar hukum, ketika petugas BGP menembak mati seorang pria berusia 23 tahun yang bepergian saat jam malam," tambahnya.
Rohingya dilarang mengakses rumah sakit terbaik negara bagian di Sittwe, kecuali dalam kasus yang sangat akut, demikian ditambahkan dalam laporan tersebut.
- Dunia Hari Ini: PM Kanada Justin Trudeau Mundur karena Popularitasnya Menurun
- Program Makan Bergizi Gratis Diharapkan Menyasar Anak Indonesia di Pedalaman
- Dunia Hari Ini: Etihad Batal Lepas Landas di Melbourne karena Gangguan Teknis
- Kabar Australia: Sejumlah Hal yang Berubah di Negeri Kangguru pada 2025
- Misinformasi Soal Kenaikan PPN Dikhawatirkan Malah Bisa Menaikkan Harga
- Dunia Hari Ini: Mantan Menhan Israel Mengundurkan Diri dari Parlemen