Andi M. Taufik, Jaksa Kasus Terorisme yang Tak Takut Teror
Pernah Disandera Sehari Semalam, Ogah Berbaju Antipeluru
jpnn.com - TUMPUKAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tergeletak. Bentuknya tak lagi rapi. Pertanda sering dibaca. Di balik meja penuh buku itu pria berbaju batik tengah serius menekuri ratusan lembar berkas perkara. Dialah Andi Muhammad Taufik. Di ruang kerjanya tersebut Andi tampak tenggelam dalam setiap lembar dokumen yang harus ditekennya.
Saat ditemui Jumat lalu (29/8) Andi mengaku tak punya banyak waktu. Pria kelahiran Makassar itu harus menentukan nasib banyak perkara. ”Maaf ya, Mbak, banyak kerjaan,” katanya. Meski sibuk, dia tak butuh waktu lama untuk menceritakan pengalaman tak terlupakan selama bertugas sebagai jaksa kasus terorisme.
Andi kali pertama secara resmi bertugas sebagai jaksa penuntut umum (JPU) pada masa reformasi. Tepatnya 1998. Ketika itu pria alumnus Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta itu menjabat Kasi Pra Penuntutan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel. Tampaknya jalan hidupnya sebagai jaksa perkara terorisme ditentukan sejak saat itu.
Sebab, tak lama setelah menjabat, ibu kota Sulawesi Selatan tersebut diguncang ledakan bom. Tepatnya di McDonald’s dan showroom mobil milik Wakil Presiden Jusuf Kalla. Peledakan itu menewaskan tiga orang. Sepuluh pelakunya akhirnya ditangkap. Mereka juga diadili.
Dari situ, karirnya terus moncer. Tak lama kemudian Andi ditunjuk sebagai Kasubdit Eksekusi dan Eksaminasi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung. Ketika itulah dia harus mendampingi beberapa teroris yang dianggap paling melegenda. Mereka adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Umar Patek.
Selama persidangan, bukan hanya urusan berkas yang harus dia tuntaskan. Sebab, banyak hal aneh yang mengiringi persidangan. Misalnya, para saksi mengaku tidak berani menatap mata Ba’asyir. Sebab, jika nekat bertatapan mata, mereka seperti terhipnotis. Mereka mendadak takut. Padahal, di antara para saksi itu ada yang berstatus pelaku pengeboman. Tak kehilangan akal, Andi melakukan gebrakan. Sidang digelar dengan menggunakan telekonferensi. Para saksi ditempatkan di lokasi yang berbeda dengan Ba’asyir.
Sidang juga berlangsung lama. Sebab, Ba’asyir menyangkal tindakannya. Ba’asyir tidak mengakui perbuatannya secara keseluruhan. Akibatnya, jaksa harus mendatangkan 120 saksi. Karena itu, tumpukan berkasnya terlalu tinggi. Mencapai 1 meter. Padahal, ada dua berkas dalam perkara tersebut. Yakni, berita acara dan lampiran sidang. Artinya, ada dua susun berkas setinggi 1 meter. Jika ditotal, berkasnya mencapai 2 meter. ”Dokumen itu tak lagi bisa dibawa dengan tangan kosong. ”Harus didorong pakai lori,” katanya sambil tergelak.
Menurut Andi, pengawalan sidang Ba’asyir superketat. Mobil tahanan wajib antipeluru. Karena tekanannya luar biasa, para jaksa harus siap fisik dan mental. Setiap jaksa diberi baju antipeluru. Di antara seluruh anggota tim, hanya Andi yang enggan memakai baju itu. ”Rasa takut itu tidak ada. Yakin kepada Allah,” ujarnya dengan mantap.
TUMPUKAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tergeletak. Bentuknya tak lagi rapi. Pertanda sering dibaca. Di balik meja penuh buku itu pria
- Rumah Musik Harry Roesli, Tempat Berkesenian Penuh Kenangan yang Akan Berpindah Tangan
- Batik Rifaiyah Batang, Karya Seni Luhur yang Kini Terancam Punah
- 28 November, Masyarakat Timor Leste Rayakan Kemerdekaan dari Penjajahan Portugis
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara