Andrea Paresthu, Arsitek dan Pengusaha Kopi yang Juga Koki

Awalnya Bikin Jengkel, Selanjutnya Pengunjung Bawa Teman

Andrea Paresthu, Arsitek dan Pengusaha Kopi yang Juga Koki
Andrea Paresthu (dua dari kiri) bersama anak buahnya di studio masak Javanegra. Di tempat ini pengunjung bisa melihat aksi sang koki mengolah makanan secara langsung. Foto: Mochamad Salsabyl/Jawa Pos/JPNN

’’Kalau di Jambi atau Palembang, orang-orang tidak mau makan ikan laut. Sebab, mereka tahu, butuh satu dua hari ikan itu baru sampai di tangan penjual. Artinya, tidak fresh. Di sana, hanya orang miskin yang makan ikan laut. Kalau yang mampu, lebih memilih ikan patin atau belida. Nah, mungkin dari sana saya akhirnya belajar membedakan bahan makanan yang baik dan yang tidak,’’ kenangnya.

Pengalaman pertama memasak didapat Andrea saat berusia 7 tahun. Saat itu, ketika masih duduk di kelas dua SD, dia menyatakan sering pergi ke dapur warung padang di belakang rumah untuk melihat para pekerja memasak. Apa yang dilihat tersebut langsung dipraktikkan di rumah.

’’Sejak itu, saya sering disuruh ibu untuk belanja ke pasar dan masak untuk keluarga. Karena itu, saya juga terbiasa memasak untuk teman-teman. Sewaktu kuliah S-1 di Universitas Parahyangan Bandung, saya juga sering memasak untuk teman-teman,’’ terangnya.

Langkah menjadi gourmand dan chef menu mediterraneanakhirnya muncul ketika Andrea mendapat beasiswa dari pemerintah Spanyol pada 1998. Saat itu, dia menempuh pendidikan S-2 tentang hispanic studies di Kota Granada. Sambil menyelam minum air, selama di Spanyol, Andrea menyempatkan diri untuk menikmati petualangan kuliner.

’’Spanyol kan gudangnya makanan. Budaya makan di sana sangat kuat. Mereka sering ngumpul untuk makan, minum, dan ngobrol. Saya sering diundang teman, lalu dimasakin neneknya. Atau, sekadar nongkrong dengan nelayan dan melihat mereka masak ikan yang fresh,’’ ungkapnya.

Pengalaman pertamanya di Eropa tersebut membuatnya jatuh hati. Selain kemiripan soal ikan dan budaya makan dengan kampung halamannya, Andrea menyukai sikap penduduk Granada yang tulus.

’’Di sana, makan menjadi bagian dari pergaulan sosial. Hampir sama dengan budaya Palembang atau Manado. Hanya, di sana lebih akrab dan tanpa pamrih. Kalau di Indonesia, biasanya ada ongkos dengar atau komisi,’’ selorohnya.

Setelah menikmati Granada, Andrea melanjutkan studi di Univeristy of Leuven, Belgia, untuk mempelajari human settlement. Di sana, dia juga sering diminta teman-teman kuliahnya untuk menjadi koki saat kumpul-kumpul. Rutinitas tersebut terus berlanjut sampai Andrea bekerja di Delft University of Technology, Belanda. Kebetulan, dia sering bertugas di proyek-proyek pengembangan daerah tertinggal internasional.

Arsitek dan pengusaha kopi Andrea Paresthu punya ’’hobi’’ unik. Dia senang demo masakan tertentu untuk teman atau pengunjung

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News