Antasari Bilang itu Kasus Perdata
Rabu, 03 September 2008 – 19:21 WIB
JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menegaskan bahwa kontrak penjualan LNG Tangguh adalah masalah perdata. Karenanya, KPK akan berhati-hati dalam menyikapi desakan agar KPK mengungkap korupsi dalam penjualan gas dari ladang Tangguh di Papua itu ke Fujian, China. "Untuk LNG Tangguh, kita tetap harus berhati-hati. Kalau sampai tahapan penyidikan, kita gak bisa berhenti (menerbitkan SP3)," ujar Antasari dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR, Rabu (3/9).
Antasari menambahkan bahwa untuk menerbitkan perintah penyidikan (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan), KPK harus mengantongi bukti yang cukup. "Alat buktinya harus cukup. Minimal 60 persen. Saya tak mau separo-separo," tandasnya. Menurut Antasari, kontrak jual gas Tangguh adalah persoalan perdata, sementara KPK hanya menangani masalah pidana. Karenanya, KPK akan kesulitan masuk ke kasus penjualan gas Tangguh jika kasusnya perdata.
Baca Juga:
Lantas bagaimana dengan adanya tudigan korupsi karena kerugian negara akibat kontrak jual yang tidak sesuai harga pasar itu mencapai Rp 700 triliun? Antasari menilai hal itu belum cukup. "Korupsi itu ada empat unsur, yaitu memperkaya diri sendiri, melanggar kewenangan, merugikan keuangan negara dan ada perbuatan melawan hukum. Lihat ini secara keseluruhan, jangan dipotong-potong," kilahnya.(ara/JPNN)
JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar menegaskan bahwa kontrak penjualan LNG Tangguh adalah masalah perdata. Karenanya,
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
BERITA TERKAIT
- 5 Juta Jemaah Calon Haji Menunggu Keberangkatan, Ada yang Khawatir Tak Berangkat
- Beraudiensi dengan Menteri LH, Ketum IKA SKMA Bicara Implementasi Ekonomi Hijau
- Jokowi Masuk Daftar Pemimpin Korup, Inas: Tuduhan OCCRP Tanpa Bukti
- Prakiraan Cuaca BMKG, Sebagian Kota Besar Diguyur Hujan Disertai Petir, Waspadalah
- Kabar Gembira, Saldo Rekening Guru PNS & PPPK Segera Bertambah
- Penggeledahan KPK di Rumah Hasto Pengalihan Isu OCCRP soal Jokowi?