Apa Kabar Balai Pustaka?
Bacaan Rakyat?
22 September 1917. Hari itu, berdasarkan Keputusan No. 63, pemerintahan kolonial Hindia Belanda mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat.
Atas usul Agus Salim, yang bekerja sebagai redaktur sepanjang 1917-1919, Kantoor voor de Volkslectuur, “berganti nama jadi Balai Poestaka,” tulis Ajip Rosidi dalam Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia, termuat di Jurnal Prisma, No. 4, Tahun VII, 1979.
Sejak itu, lembaga literasi yang dijalankan pemerintah kolonial ini kerap disebut BP, akronim dari Balai Poestaka.
BP punya empat bidang, yang masing-masing bekerja menurut rencana yang teratur dan pasti. Yaitu redaksi, administrasi, perpustakaan dan pers.
“Bagian redaksi merupakan bagian terpenting BP,” ungkap Hilmar Farid yang mengangkat tajuk Balai Poestaka dalam skripsinya di jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia.
“Karena di tempat inilah terjadi seleksi bacaan yang akan dilemparkan kepada rakyat. Segala bentuk penyuntingan mulai dari penggunaan bahasa sampai pada pengubahan isi cerita dilakukan bagian ini,” sambungnya.
Proses penyuntingan berjalan begitu ketat sehingga dari segi bahasa, karya terbitan BP, memiliki bentuk dan gaya yang seragam.
Balai Pustaka masih ada. Jika dulu pemerintah kolonial lihai betul mempergunakannya sebagai instrumen strategi kebudayaan, bagaimana dengan hari ini?
- Heru B. Wasesa dan Tim Gali Fakta Sejarah Nusantara dari Perspektif Eropa
- Memperingati Kudatuli, PDIP Bersama Korban Rezim Otoriter Tabur Bunga di Kantor Partai
- Festival Maek 2024 Akhirnya Digelar, Kenalkan Sejarah Megalitikum di Minangkabau
- Final EURO 2024 dan Stadion Megah dengan Sejarah Kelam Nazi
- Pemda Batang Sambut Baik Gagasan PMB Tentang Penulisan Sejarah
- Presiden Jokowi Apresiasi Blok Rokan, Ini Paling Terbesar dan Produktif dalam Sejarah