Arogan, Pacar Kita Kabur
jpnn.com - AKSI demo para sopir taksi Blue Bird, Ekpress, Taxiku, angkot, metromini, dan kopaja berunjung pada tindakan anarkistis, Selasa (22/3). Masyarakat pun dipertontonkan dengan aksi brutal sesama wong cilik di jalanan. Pascademo, Blue Bird, perusahaan taksi kelas kakap ini memberikan layanan gratis. Gejala apakah ini? Berikut analisa psikolog klinis dan forensik, A. Kasandra Putranto saat diwawancarai wartawan JPNN Mesya Mohammad, Kamis (24/3).
Bagaimana tanggapan Anda tentang aksi brutal sopir taksi Blue Bird dan Ekspres?
Aksi demo sopir taksi yang berujung pada tindak kekerasan memang sangat disayangkan. Dari tinjauan studi psikologi massa, perilaku individual, dan organisasi. Ketiganya memiliki ikatan yang saling terkait.
Sebagai psikolog klinis yang telah banyak bekerja di berbagai setting keluarga, komunitas masyarakat, perusahaan dan forensik, saya melihat kejadian Selasa kemarin telah diawali oleh adanya perilaku menyimpang dari individu yang diperkuat oleh kesalahan manajemen organisasi.
Kelompok sopir (individual) yang memiliki profil perilaku tertentu ternyata lolos dari proses rekrutmen dan pembinaan mental karyawan yang kurang maksimal, lalu mereka mengalami tekanan psikologis yang khas akibat situasi ekonomi nasional dan kegagalan manajemen dalam melakukan antisipasi. Mereka terprovokasi oleh kepentingan kelompok dan organisasi, selanjutnya mereka terbawa dalam perilaku massa yang destruktif dan brutal.
Jadi aksi brutal para sopir ini adalah imbas dari kelemahan perekrutan dan pembinaan SDM ?
Dulu, saat taksi kuning (Presiden Taxi, red) beroperasi, banyak pelanggan yang kurang puas. Karena dari sisi pelayanan, sopirnya kurang ramah serta kendaraannya pun tidak mendukung. Kemudian muncul taksi biru (Blue Bird) dengan konsep nyaman dan pelayanan prima. Para sopir yang direkrut adalah SDM terpilih. Masyarakat pun menilai para sopir taksi biru ramah, wangi, sopan, dan ber-attitude tinggi.
Image taksi biru yang pelayanannya prima dan aman pun makin menguat di masyarakat karena dulu tidak ada keluhan dari konsumen. Meski tarifnya lebih mahal, konsumen lebih memilih taksi biru ketimbang taksi kuning. Mengapa? Karena yang dicari konsumen bukan masalah murah tidaknya tarif, tetapi lebih kepada kualitas layanan. Itu pulalah yang membuat taksi kuning akhirnya tersingkir dan taksi biru pun makin merajai pasar taksi di Indonesia.