Aturan Produk Tembakau di RPP Kesehatan Terindikasi Sarat Kepentingan Asing
Perlu disadari, kata dia, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau bukan angka kecil.
Nilainya mencapai 9 persen sampai 13 persen dari total penerimaan pajak negara.
"Isu kesehatan memang merupakan persoalan penting untuk jadi bahan pertimbangan dalam sebuah kebijakan publik. Namun demikian, kepentingan lain juga tidak boleh diabaikan," tegasnya.
Dengan bunyi aturan tersebut, Prof. Hikmahanto menilai industri tembakau nasional bisa sangat terganggu dan akhirnya mati.
Oleh karena itu, ia menyarankan Kemenkes mengkaji ulang serta tidak terburu-buru dalam menyusun RPP Kesehatan, terutama berkaitan dengan produk tembakau.
Senada, anggota Komisi IX DPR RI Mukhamad Misbakhun juga menilai aturan produk tembakau di RPP Kesehatan merupakan pelaksana dari FCTC.
"Saya menegaskan ini sudah tidak benar. Hadirnya draft RPP ini sama saja (Kemenkes) ingin menjadi pelaksana dari FCTC. Kalau diperhatikan semua konsepnya sama. Saya sampai sekarang melarang FCTC diterapkan di Indonesia,” tegasnya.
Ia juga menekankan Indonesia tidak perlu mengadopsi FCTC sebab industri tembakau di Indonesia adalah bagian dari kedaulatan ekonomi negara.
Selain itu, produk tembakau juga merupakan warisan budaya dan leluhur bangsa.
Kemenkes mengkaji ulang serta tidak terburu-buru dalam menyusun RPP Kesehatan, terutama berkaitan dengan produk tembakau
- Bea Cukai Parepare Musnahkan Jutaan Barang Ilegal, Nilainya Fantastis
- Bea Cukai dan Pemda Bersinergi, Kembangkan Industri Hasil Tembakau di Jawa Timur
- Penundaan Kenaikan Cukai Rokok Dinilai Mengancam Kesehatan Masyarakat
- Tanggapi Polemik Rancangan Permenkes Kemasan Seragam, DPR: Lindungi Tenaga Kerja dan Petani Tembakau
- Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Melanggar UU HAKI
- Pemerintah Baru Diminta Libatkan Pemangku Kepentingan dalam Merumuskan Regulasi