Baliho

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Baliho
Salah satu spanduk Puan Maharani. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

Namun, konotasinya malah dianggap jaim. Foto yang tersenyum lebar dimaksudkan untuk memberi kesan akrab dan gaul. Bisa saja konotasinya dianggap cengengesan.

Baliho tidak menampilkan realitas yang sesungguhnya dari petanda. Yang ditampilkan adalah hiperrealitas, atau kenyataan yang tidak nyata atau berlebihan. Baudrillard menyebutnya sebagai simulacra, realitas khayalan atau pencitraan.

Realitas dikonstruksi berdasarkan citra-citra positif yang khusus. Muhaimin dikonstruksikan sebagai anak muda santri milenial, dengan penampilan yang gaul dan youthful. Ia mengendarai Vespa supaya dikonstruksikan gaul dan trendi.

Airlangga Hartarto dikonstruksikan sebagai pekerja keras yang bekerja untuk rakyat.

AHY dikonstruksikan sebagai sosok nasionalis religius, dengan gaya berwibawa warisan bapaknya. Puan Maharani dikonstruksikan sebagai ibu bangsa yang anggun dan berwibawa. Giring dikonstruksikan sebagai pemimpin representasi generasi milenial.

Persepsi publik berbeda-beda dalam mengintepretasikan sebuah message. Ada yang menganggap positif, tetapi ada pula yang menganggapnya negatif.

Di Surabaya, baliho Puan malah menjadi korban vandalisme. Tangan-tangan jail itu menuliskan kalimat kurang pantas, seperti ‘’Open BO’’. Ada juga yang mencoretkan ‘’PKI’’ dan juga ‘’Koruptor’’.

Reaksi negatif ini terjadi di Surabaya dan Blitar. Dua kota yang menjadi stronghold PDIP.

Puan menyindir Ganjar, karena lebih sibuk mengerek popularitas. Sekarang Puan mengekor Ganjar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News