Bambang 'Paimo' Hertadi Mas, Gowes Keliling Dunia dengan Sepeda Sederhana
Paling Menantang Gowes di Dataran Tinggi Bolivia
Rabu, 01 Agustus 2012 – 00:01 WIB
Bambang Hertadi Mas sudah seperti "legenda hidup" bersepeda jarak jauh. Sudah lima benua dia jelajahi dengan sepeda sederhana yang setia menemaninya. Kendati banyak makan asam garam, lelaki yang akrab dipanggil Paimo itu tak pernah rewel menyetel spesifikasi sepedanya. AGUNG PUTU ISKANDAR, Bandung
PAIMO seperti tidak ada tandingannya untuk urusan bersepeda jarak jauh. Rute-rute yang tidak terbayangkan sudah dia jajal. Mulai bersepeda hingga ke puncak Gunung Kilimanjaro (5.896 mdpl) di Afrika hingga bersepeda melintasi sepanjang daratan Amerika Selatan dari Bolivia hingga Chile.
Dia juga pernah bersepeda menjelajahi dataran tinggi Himalaya-Nepal, dan India. Benua biru Eropa pun tidak lepas dari petualangannya. Dia pernah bersepeda dari Portugal bablas hingga ke Prancis. Dia juga pernah ke Maroko, menelusuri jalur sutra, dan melintasi Tembok Besar Tiongkok. Sudah puluhan ribu kilometer dia lalui dengan menggowes sepeda.
Meski begitu, lelaki 54 tahun itu tak pernah takabur dengan prestasinya tersebut. Dia juga enggan dianggap pionir bersepeda jarak jauh di Indonesia. Dia tetap menjalani hidupnya sebagai orang sederhana yang bekerja sebagai konsultan sebuah perusahaan Indonesia penyedia alat-alat petualangan.
Saat ditemui Jawa Pos di Jalan Cihampelas, Bandung, Senin (30/7), Paimo masih seperti gayanya yang lama. Yakni, suka cengengesan dan terkesan tidak serius. Rambutnya sedikit gondrong.
Lantaran gayanya yang anti kemapanan, di kantor pun Paimo jarang mengenakan pakaian resmi. Dia hanya mengenakan kaus oblong yang dipadu celana pendek warna gelap. Dia juga memakai scarf untuk ikat kepala, dikombinasikan dengan kacamata hitam. "Saya ya begini ini. Tidak ada yang istimewa, biasa saja," katanya.
Tidak ada yang menyangka bahwa lelaki yang menjadi pekerja di toko perlengkapan petualangan tersebut sudah keliling dunia dengan melintasi lima benua. Padahal, petualangan nekat itu dia jalani dengan sepeda sederhana. Bahkan, sepeda itu sekarang tidak diproduksi lagi. Sepeda kesayangan Paimo yang mengantarnya membelah jalan-jalan dunia itu bermerek dalam negeri: Federal.
Paimo tergolong petualang yang tidak rewel. Saat memulai petualangan pada 1980-an, dia tidak mau berhenti hanya karena sepeda jarak jauh belum ada yang membuat. Maklum, bersepeda jarak jauh lintas benua perlu peralatan yang lumayan ribet. Sebab, mereka hanya mengandalkan diri sendiri, tanpa bantuan kendaraan lain.
"Saya pernah suatu ketika memakai roda ukuran 700 dan meletus saat berada di sebuah kota kecil di Prancis. Saya cari sampai di toko-toko sepeda, tidak ada yang menjual ban ukuran segitu. Akhirnya, dengan terpaksa saya jahit ban itu hingga bisa saya pakai lagi," ujarnya.
Selain perlengkapan sepeda, dia harus membawa tenda dan sleeping bag untuk beristirahat di jalan. Karena barang bawaan yang banyak itulah, sepeda Paimo juga harus kuat. Dia secara khusus memilih sepeda merek Federal karena material yang dipakai dari jenis chromoly. Material yang sudah sangat jarang dipakai sepeda saat ini.
"Umumnya bahan-bahan tersebut ngejar ringan, bukan kuatnya. Padahal, yang kami butuhkan kuatnya biar bisa bertahan lama dalam jarak jauh," tuturnya.
Saat merintis long distance cycling atau dalam istilah kerennya "bikepacking", Paimo harus bisa membikin sendiri alat-alatnya. Dia membuat rak depan dan belakang tempat tas (pannier bag) dari besi cor. Besi tersebut lantas disambungkan dengan baut ke frame sepeda. Rak yang dibuat pada 1997 itu baru rusak pada 2006 dalam perjalanan dari Bolivia ke Chile.
"Saat itu besinya putus gara-gara saya paksakan di sebuah jalan setapak di Bolivia," kata bapak putri berusia sepuluh tahun bernama Christianna Sekar Kinanti itu.
Kini, kesulitan yang dialami Paimo tidak lagi dirasakan banyak orang. Sebab, olahraga bersepeda semakin ngetren. Peralatan penunjang bike touring juga sudah tersedia di mana-mana. Bahkan, spesifikasi sepeda saat ini sudah sangat canggih dengan harga bervariasi. Belum lagi pannier bag yang dipasang di sisi kanan dan kiri sepeda, sekarang banyak yang sudah waterproof.
"Kalau mau memakai sepeda mahal juga tidak apa-apa. Yang jelas, kalau sepeda murah harus disadari kekuatannya sampai seberapa," kata suami Christine Claudia Lukman itu lantas tersenyum.
Hingga kini, belum ada penggiat sepeda touring yang bisa menyamai rute-rute dahsyat yang dilalui arek Malang tersebut. Umumnya mereka berkutat pada rute-rute jarak jauh di level domestik.
"Untuk menjadi bikepacker, perencanaan harus matang. Kalau tahu cuaca bakal buruk, kita harus bisa mengantisipasinya. Jangan menyalahkan keadaan," tuturnya.
Karena itu, menjadi petualang sepeda membutuhkan fisik dan mental sekuat baja. Dia tidak boleh lemah hanya gara-gara kondisi yang tidak ideal.
Soal tempat tidur, Paimo harus menyadari keterbatasan sangunya. Dia mesti rela tidur di dekat kuburan, dekat lapangan bola, bahkan di reruntuhan bekas stasiun. Pernah saat dalam perjalanan di kawasan danau Salar de Chiguana, Bolivia, yang mengering, dia harus mendirikan tenda di sebuah reruntuhan bangunan yang tak terurus dan sangat kotor. "Bagaimana lagi, mau tidak mau saya harus mendirikan tenda di situ," katanya.
Petualangan di sepanjang jalur Bolivia"Chile memang yang paling berat dirasakan Paimo. Sepanjang enam ribu kilometer dia jalan darat dari La Paz, ibu kota Bolivia, hingga Punta Arenas di Chile.
PAIMO seperti tidak ada tandingannya untuk urusan bersepeda jarak jauh. Rute-rute yang tidak terbayangkan sudah dia jajal. Mulai bersepeda hingga ke puncak Gunung Kilimanjaro (5.896 mdpl) di Afrika hingga bersepeda melintasi sepanjang daratan Amerika Selatan dari Bolivia hingga Chile.
Dia juga pernah bersepeda menjelajahi dataran tinggi Himalaya-Nepal, dan India. Benua biru Eropa pun tidak lepas dari petualangannya. Dia pernah bersepeda dari Portugal bablas hingga ke Prancis. Dia juga pernah ke Maroko, menelusuri jalur sutra, dan melintasi Tembok Besar Tiongkok. Sudah puluhan ribu kilometer dia lalui dengan menggowes sepeda.
Meski begitu, lelaki 54 tahun itu tak pernah takabur dengan prestasinya tersebut. Dia juga enggan dianggap pionir bersepeda jarak jauh di Indonesia. Dia tetap menjalani hidupnya sebagai orang sederhana yang bekerja sebagai konsultan sebuah perusahaan Indonesia penyedia alat-alat petualangan.
Saat ditemui Jawa Pos di Jalan Cihampelas, Bandung, Senin (30/7), Paimo masih seperti gayanya yang lama. Yakni, suka cengengesan dan terkesan tidak serius. Rambutnya sedikit gondrong.
Nama Paimo ditahbiskan teman-temannya sebagai nama panggilan sejak masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB). Alasannya, "Saya dulu tidak fasih berbahasa Indonesia. Bisanya bahasa Jawa terus," katanya lantas terbahak.
Lantaran gayanya yang anti kemapanan, di kantor pun Paimo jarang mengenakan pakaian resmi. Dia hanya mengenakan kaus oblong yang dipadu celana pendek warna gelap. Dia juga memakai scarf untuk ikat kepala, dikombinasikan dengan kacamata hitam. "Saya ya begini ini. Tidak ada yang istimewa, biasa saja," katanya.
Tidak ada yang menyangka bahwa lelaki yang menjadi pekerja di toko perlengkapan petualangan tersebut sudah keliling dunia dengan melintasi lima benua. Padahal, petualangan nekat itu dia jalani dengan sepeda sederhana.
Baca Juga:
Paimo tergolong petualang yang tidak rewel. Saat memulai petualangan pada 1980-an, dia tidak mau berhenti hanya karena sepeda jarak jauh belum ada yang membuat. Maklum, bersepeda jarak jauh lintas benua perlu peralatan yang lumayan ribet. Sebab, mereka hanya mengandalkan diri sendiri, tanpa bantuan kendaraan lain.
Kalaupun harus membeli sesuatu di jalan, itu harus keperluan yang sangat universal. Paling tidak semua perlengkapan reparasi dan suku cadang sepeda harus dibawa. Mulai rantai hingga ban dalam.
Khusus untuk ban luar, Paimo beruntung menggunakan sepeda dengan roda ukuran 26 inci. Roda tersebut sangat mudah dicari di mana-mana karena sangat populer.
"Saya pernah suatu ketika memakai roda ukuran 700 dan meletus saat berada di sebuah kota kecil di Prancis. Saya cari sampai di toko-toko sepeda, tidak ada yang menjual ban ukuran segitu. Akhirnya, dengan terpaksa saya jahit ban itu hingga bisa saya pakai lagi," ujarnya.
Selain perlengkapan sepeda, dia harus membawa tenda dan sleeping bag untuk beristirahat di jalan. Karena barang bawaan yang banyak itulah, sepeda Paimo juga harus kuat. Dia secara khusus memilih sepeda merek Federal karena material yang dipakai dari jenis chromoly. Material yang sudah sangat jarang dipakai sepeda saat ini.
Sepeda mutakhir cenderung menggunakan karbon atau aluminium alloy. Memang, kedua bahan tersebut sangat ringan. Namun, saat dipakai jarak jauh kekuatannya diragukan.
"Umumnya bahan-bahan tersebut ngejar ringan, bukan kuatnya. Padahal, yang kami butuhkan kuatnya biar bisa bertahan lama dalam jarak jauh," tuturnya.
Saat merintis long distance cycling atau dalam istilah kerennya "bikepacking", Paimo harus bisa membikin sendiri alat-alatnya. Dia membuat rak depan dan belakang tempat tas (pannier bag) dari besi cor. Besi tersebut lantas disambungkan dengan baut ke frame sepeda. Rak yang dibuat pada 1997 itu baru rusak pada 2006 dalam perjalanan dari Bolivia ke Chile.
"Saat itu besinya putus gara-gara saya paksakan di sebuah jalan setapak di Bolivia," kata bapak putri berusia sepuluh tahun bernama Christianna Sekar Kinanti itu.
Kini, kesulitan yang dialami Paimo tidak lagi dirasakan banyak orang. Sebab, olahraga bersepeda semakin ngetren. Peralatan penunjang bike touring juga sudah tersedia di mana-mana. Bahkan, spesifikasi sepeda saat ini sudah sangat canggih dengan harga bervariasi. Belum lagi pannier bag yang dipasang di sisi kanan dan kiri sepeda, sekarang banyak yang sudah waterproof.
"Kalau mau memakai sepeda mahal juga tidak apa-apa. Yang jelas, kalau sepeda murah harus disadari kekuatannya sampai seberapa," kata suami Christine Claudia Lukman itu lantas tersenyum.
Hingga kini, belum ada penggiat sepeda touring yang bisa menyamai rute-rute dahsyat yang dilalui arek Malang tersebut. Umumnya mereka berkutat pada rute-rute jarak jauh di level domestik.
Kalaupun ada yang mencoba menempuh rute panjang di luar negeri, banyak yang tak kuat di tengah jalan. Misalnya, sekelompok penggiat sepeda jarak jauh yang bermaksud naik haji dengan bersepeda pancal, beberapa waktu lalu. Tapi, mereka hanya bisa sampai Tiongkok. Mereka terkendala cuaca.
"Untuk menjadi bikepacker, perencanaan harus matang. Kalau tahu cuaca bakal buruk, kita harus bisa mengantisipasinya. Jangan menyalahkan keadaan," tuturnya.
Karena itu, menjadi petualang sepeda membutuhkan fisik dan mental sekuat baja. Dia tidak boleh lemah hanya gara-gara kondisi yang tidak ideal.
Soal tempat tidur, Paimo harus menyadari keterbatasan sangunya. Dia mesti rela tidur di dekat kuburan, dekat lapangan bola, bahkan di reruntuhan bekas stasiun. Pernah saat dalam perjalanan di kawasan danau Salar de Chiguana, Bolivia, yang mengering, dia harus mendirikan tenda di sebuah reruntuhan bangunan yang tak terurus dan sangat kotor. "Bagaimana lagi, mau tidak mau saya harus mendirikan tenda di situ," katanya.
Petualangan di sepanjang jalur Bolivia"Chile memang yang paling berat dirasakan Paimo. Sepanjang enam ribu kilometer dia jalan darat dari La Paz, ibu kota Bolivia, hingga Punta Arenas di Chile.