Bandar, Bandit, Badut

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Bandar, Bandit, Badut
Ilustrasi korupsi. Foto: (ANTARA/HO/20)

Adam Malik yang kemudian menjadi wakil presiden mendampingi Pak Harto dikenal sebagai pejabat yang jujur dan bersih. 

Ungkapan itu mungkin bisa disebut sebagai otokritik terhadap Orde Baru yang ketika itu banyak digerogoti kasus megakorupsi  seperti korupsi Ibnu Sutowo. 

Malik tentu paham bahwa mengritik rezim Pak Harto adalah tindakan yang melanggar fatsun politik karena ia bagian dari rezim. 

Salah satu cara otokritik yang tepat adalah menyindir rezim dengan frasa semua bisa diatur.

Para pemburu rente, rent seeker, seperti ini menjadi bagian dari lingkaran setan korupsi di Indonesia. 

Mereka menjadi bandar politik yang menjadi bohir membayari proyek politik yang mahal, dan sebagai imbalannya mereka menerima proyek dengan memanipulasi proses tender.

Jual beli demokrasi ini disorot oleh Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and State in Indonesia” (2019). 

Biaya politik menjadi sangat mahal karena partai politik meminta mahar yang mahal untuk membayar tiket pencalonan. 

Kasus Mardani H. Maming menunjukkan korelasi yang rumit antara bisnis dan politik di Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News