Bandara Kamil dan Pelabuhan Bergarbarata
Masa jabatan saya berakhir pada 18 Oktober minggu depan. Mungkin Dirut Pelindo III ingin agar saya melihat sendiri apakah antara perencanaan dan pelaksanaannya sesuai dengan yang saya harapkan.
"Melebihi yang kita rencanakan," komentar saya kepada Djarwo Surjanto, Dirut Pelindo III. "Saya tidak menyangka Anda merealisasikannya sebagus ini," tambah saya sambil menunjuk garbarata.
Garbarata?
Yes! Inilah untuk kali pertama penumpang kapal dilewatkan garbarata. Seperti naik pesawat saja. Tidak lagi lewat tangga di dinding kapal yang bergoyang-goyang itu. Yes! Pelindo III memulainya! Sejarah! Terminalnya pun istimewa. Bandara Halim saja kalah! Bandara Terminal I Surabaya pun takluk!
Tapi, "dendam" saya sebenarnya bukan di Surabaya. Melainkan di Nunukan. Nunukan-lah pelabuhan laut yang langsung berhadapan dengan Malaysia (Tawao, Sabah). Lalu lintasnya sangat ramai. Tapi, pelabuhan penumpangnya ampun-ampun jelek dan semrawutnya!
Rasanya begitu malu. Begitu meninggalkan Tawao dan mendarat di Nunukan, njomplang-nya luar biasa. Seolah-olah bangsa ini memang pantas menjadi pesuruh bangsa Malaysia. Ngurusi pelabuhan saja tidak bisa.
Beda Tawao (Malaysia) dan Nunukan (Indonesia) bukan lagi langit dan bumi. Tapi, langit dan sumur!
Saya langsung menelepon Dirut ASDP Danang Baskoro. "Memalukan," kata saya. "Ayo kita bangun yang modern. Lebih modern daripada Tawao. Ini persoalan kecil," kata saya.
"Pak Dahlan, itu bukan milik BUMN," jawabnya lantas tertawa. Begitu gelinya dia mendengar omelan saya, sampai-sampai gerak bibir Danang terasa di HP saya.