Bangun Dua Pabrik untuk Penuhi Kebutuhan Baja Dalam Negeri
Hidayat menuturkan, Resteel dianggap memenuhi kebutuhan baja di Indonesia. Pembangunan pabrik baja Resteel tersebut akan menjadi bagian dari subtitusi impor yang selama ini dilakukan Indonesia.
Kata dia, selama ini total kebutuhan baja Indonesia lebih dari 11 juta ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri hanya bisa memasok lebih kurang 6 juta ton per tahun dan sisanya dipenuhi melalui impor. "Nah ini bagian dari memperkecil kesenjangan dari ekspor dan impor itu," imbuhnya.
Komisaris Resteel Achmad Fadhillah mengatakan, pembangunan dua pabrik besi baja tersebut nantinya akan terfokus di dua wilayah yaitu Batam dan Tojo Una Una (Sulawesi Tengah). "Kami akan mulai commisioning enam bulan kemudian sejak groundbreaking, atau sebelum akhir tahun sudah bisa menghasilkan produk," katanya.
Achmad menuturkan, kedua pabrik tersebut ditargetkan bisa menghasilkan produk super low carbon nickel titanium special steel dengan kapasitas 100 ribu metrik ton per tahunnya untuk satu line produksi. Saat ini produk dari super low carbon ini banyak digunakan untuk industri militer di Tiongkok, seperti kapal dan tank.
Namun itu untuk tahap awal, perusahaan patungan tersebut berencana menambah line produksinya sebanyak 10 line, apabila proyek kedua pabrik tersebut tengah rampung pada 2015.
"Satu line produksi kita investasikan sebesar USD 50 juta, jadi kalau 10 line sekitar USD 500 juta. Ke depan, pemerintah juga seharusnya memberikan insentif kepada kami dengan melihat nilai investasi sebesar itu," katanya.
Menurut Achmad, yang membedakan produk baja yang dihasilkan Resteel dengan pabrik baja lain yaitu sistem produksinya menghilangkan dua proses pengolahan.
"Jadi dari iron ore (batu besi,red) bisa langsung menjadi baja. Inilah mengapa dikatakan baja tersebut disebut special steel. Hasil dari teknologi yang memerlukan energi gas ini memiliki kualitas lebih bagus dan tidak memerlukan power plant baru, hemat energi serta ramah lingkungan," katanya.