Baru Penting kalau Sudah Mati
Senin, 05 April 2010 – 07:35 WIB
Di Korsel, biarpun petani, untuk rumah tangga mereka tetap dikenakan tarif termahal. Tapi, sawah/ladang/kebun mereka mendapat tarif termurah. Beda antara tarif termurah dan termahal di Korsel kurang lebih juga sama dengan di Indonesia. Yang termahal sekitar Rp 1.200/kva. Yang termurah juga sekitar Rp 450/kva. Maka di Korsel, tarif untuk pertanian hanya Rp 450/kva, sedang tarif rumah tangga sampai Rp 1.200/kva, termasuk rumah tangga petani.
Baca Juga:
Saya tidak tahu bagaimana riwayatnya dulu sehingga sistem tarif listrik di Indonesia bertolak belakang dengan usaha untuk menciptakan tingkat produktivitas bangsa yang tinggi. Yang saya tahu, Kadin Indonesia sudah lama menginginkan perubahan sistem penarifan listrik ke arah yang lebih bisa memajukan perekonomian nasional seperti di Korsel itu.
Mungkinkah suatu saat kelak Indonesia juga lebih berorientasi kepada produktivitas dan menekan penggunaan listrik yang konsumtif? Sampai sekarang, sistem penarifan listrik, termasuk besarannya, sepenuhnya di tangan pemerintah dan DPR. PLN tinggal menerima apa yang diputuskan dua lembaga tinggi negara tersebut.
Di Korsel pun juga demikian. PLN-nya Korsel juga tidak punya wewenang menentukan tarif. Maka, sebagaimana juga di Indonesia, PLN-nya Korsel setiap tahun mengusulkan agar tarif terendah itu dinaikkan. Hanya, usul tersebut sepenuhnya tergantung pemerintah untuk mengabulkan atau menolaknya. Bedanya, di Korsel, PLN-nya tidak perlu disubsidi. Sebab, pelanggan golongan terendah (pertanian) tersebut hanya 10 persen dari keseluruhan pemakaian listrik di sana. Pemakaian rumah tangga yang tarifnya tertinggi jauh lebih besar. Tarif untuk industri adalah tarif yang tidak termahal, tapi juga tidak perlu disubsidi.