Batas Sabar
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Pada referendum kedua, 1995, "No" menang lagi. Tipis sekali. Sekitar satu persen saja. Quebec nyaris merdeka.
Jalannya referendum kedua itu tidak bisa saya lupakan. Saat itu saya sedang di Amerika Serikat. Pemungutan suaranya disiarkan secara live.
Perolehan angkanya kejar-kejaran. Sangat ketat. Emosional sekali. Kamera sering menyorot wajah-wajah yang tegang. Lalu wajah yang penuh duka di saat yang ingin merdeka kalah amat tipis.
Mereka ingin merdeka sejak lama: merasa dinomorduakan oleh pemerintah pusat yang dikuasai oleh mereka yang berbahasa Inggris.
Orang Quebec berbahasa Prancis. Waktu itu pemerintah memang hanya mengakui bahasa Inggris sebagai bahasa nasional. Baru belakangan bahasa Prancis juga dapat pengakuan yang sama.
Ini kebalikan yang terjadi di Amerika. Selama ini bahasa Spanyol diakui sebagai salah satu bahasa Amerika Serikat. Dua pekan lalu Presiden Donald Trump mengeluarkan dekrit baru: Amerika hanya mengakui bahasa Inggris sebagai bahasa nasional.
Carney sendiri tidak lancar dalam berbahasa Prancis, tetapi bisa. Berbeda dengan perdana menteri yang dia gantikan: Justin Trudeau. Dalam pidato perpisahan pekan lalu Trudeau mencampurnya dengan bahasa Prancis.
Maka kalau negara pertama yang dikunjungi adalah Prancis itu sebagai simbol penting dalam perpolitikan, apalagi Oktober depan dia harus maju di pemilihan umum.
Mungkin Trump hanya setengah bercanda: 80 persen ekspor Kanada adalah ke Amerika Serikat. Apa bedanya dengan sekalian saja menjadi negara bagiannya.
- Perusahaan Perikanan Asal Tual Ini Kembali Ekspor Kerapu Hidup ke Hong Kong
- UMK Academy Pertamina Bawa Mandiri Craft yang Sempat Terpuruk Bangkit Lagi
- Fasilitas KB Bantu Produsen Peralatan Rumah Tangga Ini Tingkatkan Ekspornya
- Kompak, Partai di Greenland Mengecam Pernyataan Donald Trump
- Gemerlap Danantara
- Kawan Lama