Bayar Berapa
Oleh: Dahlan Iskan
Pendapat itu memang beredar luas di medsos. Menghebohkan.
Komentar pun berseliweran. Kesan yang muncul: kita telah ditipu Singapura. Seolah kedaulatan udara sudah dikembalikan ke Indonesia, kenyataannya tidak begitu. Udara di bawah 37.000 kaki masih tetap dikuasai Singapura.
Kesan lain tulisan itu: Presiden Jokowi telah ditipu anak buah. Yakni menyaksikan penandatanganan dokumen perjanjian yang detailnya berbeda dengan yang tersiar ke publik.
Kesan lainnya lagi: kita kalah cerdik dalam perundingan. Pemerintah tidak mampu membayar lawyer yang hebat dan banyak. Sedang di pihak Singapura sebaliknya.
Saya mendapat cerita dari juru runding yang pernah terlibat soal itu. Di barisan kursi belakang juru runding Singapura berderet ahli hukum.
Juru runding itu terlihat sering berunding dengan yang di barisan belakang. Setiap kata dan kalimat didiskusikan. Termasuk koma dan titik. Terutama garis miring.
Juru runding kita beda: tidak punya barisan belakang itu. Pengacara itu mahal –apalagi yang terkenal.
Kecerdikan Singapura terutama di soal penguasaan udara di bawah 37.000 kaki itu. Menurut Prof Hikmahanto, itu sesuai dengan strategi dasar Singapura: ingin menjadikan Changi sebagai hub penerbangan di Asia Tenggara.