Begini Sikap Pemerintah soal Putusan MK yang Batalkan Presidential Threshold

Begini Sikap Pemerintah soal Putusan MK yang Batalkan Presidential Threshold
Yusril Ihza Mahendra dalam sidang sengketa hasil Pilpres di MK, Selasa (18/6). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyatakan, pemerintah menghormari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau "presidential threshold".

Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 222 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK menganggap aturan itu bertentangan dengan UUD 1945.

Sebelum dibatalkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu mensyaratkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 persen kursi parpol atau gabungan parpol di DPR RI, atau minimal 25 perden suara sah nasional parpol atau gabungan parpol berdasarkan hasil pemilu lima tahun sebelumnya.

Dengan pembatalan itu, maka setiap parpol peserta pemilu mendatang, berhak mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tanpa ambang batas lagi.

"Sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 45, putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat (final and binding)," kata Yusril melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (2/1).

Yusril menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun.

Pemerintah menyadari bahwa permohonan untuk menguji ketentuan Pasal 222 UU Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali, dan baru pada pengujian terakhir ini dikabulkan.

Lebih jauh, Yusril menyebut, pemerintah melihat ada perubahan sikap MK terhadap konstitusionalitas norma Pasal 222 UU Pemilu itu dibanding putusan-putusan sebelumnya.

Yusril menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah terikat dengan Putusan MK tersebut tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News