Benang Kuning Jokowi-Ahok
Oleh; Mohammad Hailuki*
jpnn.com - TERLALU naif rasanya apabila kita menganggap peristiwa reshuffle kabinet sebagai sebuah hak prerogatif semata seolah hanya fenomena politik biasa yang tidak ada perkaitan dengan variabel-variabel lainnya. Perombakan kabinet tidak sekadar menyempurnakan puzzle yang terserak, tidak pula sebatas pergantian pemain di lapangan, dan bukan hanya tambal sulam jahitan, tetapi lebih dari itu.
Dalam sebuah pemerintahan, di negeri mana pun, postur sebuah kabinet selalu mencerminkan kesepakatan serta kepentingan politik yang ada di dalamnya. Kepentingan elite politik secara individu maupun lembaga, kepentingan partai politik pengusung, kepentingan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam bangunan kekuasaan, dan kepentingan kelompok-kelompok bisnis tertentu. Lebih jauh lagi, ada kepentingan ideologi yang terpantul dari cermin kekuasaan.
Sebagaimana dikemukakan Robert Michels (1968), penampilan rezim demokrasi bisa mengelabui mata para pengamat yang tidak berhati-hati. Tampilan demokratis kerap menjadi jubah dari sebuah kekuatan oligarkis yang bersembunyi di balik selubung demokrasi.
Pun demikian disampaikan Jeffrey A Winters (2013), para oligarki dapat melekatkan diri tidak hanya pada bangunan otoritarian, melainkan juga rezim demokrasi. Kaum oligarki bukan monopoli para politisi, tetapi multiprofesi yang digerakkan oleh pencarian kekuasaan dan kekayaan.
Peristiwa reshuffle kedua Kabinet Kerja pada 27 Juli 2016 memunculkan pergeseran posisi dan pencopotan sejumlah menteri. Mereka yang bergeser adalah Luhut Pandjaitan yang semula menjabat menteri koordinator (menko) polhukam menjadi menteri koordinator (menko) maritim dan sumber daya. Sahabat dekat Wapres Jusuf Kalla, Sofyan Djalil pun digeser dari kursi menteri perencanaan pembangunan nasional merangkap kepala Bappenas menjadi menteri agraria dan tata ruang.
Pergeseran juga dialami Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong. Bambang menjadi kepala Bappenas menggantikan Sofyan, sedangkan Lembong menjadi kepala BKPM.
Sedangkan reshuffle yang dan menimbulkan keheranan di publik adalah pencopotan Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, serta Menteri ESDM Sudirman Said. Ketiga nama populer itu justru dianggap memiliki integritas dan gebrakan dalam menjalankan tugas, khususnya Rizal Ramli yang beberapa pekan menjelang reshuffle kabinet sangat gencar memerangi proyek reklamasi pantai utara Jakarta.
Publik tentu masih ingat bagaimana perseteruan antara Rizal dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok terkait proyek pulau buatan tersebut. Atas nama pemerintah pusat, Rizal mencabut izin reklamasi Pulau G yang dikelola oleh kelompok usaha properti kelas kakap.
TERLALU naif rasanya apabila kita menganggap peristiwa reshuffle kabinet sebagai sebuah hak prerogatif semata seolah hanya fenomena politik biasa
- Connie Tanggapi Status Tersangka Hasto, Lalu Bicara Kasus Pencucian Uang Kakak & Adik
- Kompolnas Temukan Fakta Baru soal Pemerasan Polisi Terhadap Penonton DWP
- Temukan Aset yang Tak Dilapor, KPK Proses Kepala BPJN Kalbar
- Mahasiswi UPI Tewas Terjatuh, Polisi Ungkap Fakta Baru
- Gelombang Tinggi Diprediksi Terjadi di Laut Banten, BMKG Imbau Nelayan Waspada
- Usut Penyebab Mahasiswi UPI Bandung Jatuh dari Lantai 2 Gymnasium, Polisi Periksa CCTV