Bentrok di Deliserdang, KPA Tak Kaget
Jumat, 28 Januari 2011 – 04:04 WIB
Namun, lanjutnya, tanah-tanah tersebut sesungguhnya adalah tanah-tanah milik masyarakat adat, dan mereka tetap bisa menanami tanah tersebut dengan bergantian dengan tanaman tembakau khususnya saat tanah diistirahatkan perusahaan perkebunan.
Pada masa Jepang, kata alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu, perkebunan terbengkalai dan pemerintah Jepang meminta masyarakat menanam tanaman pangan untuk kebutuhan perang. Keadaan ini berlanjut hingga zaman revolusi kemerdekaan. Para petani dan masyarakat adat inilah yang menyediakan pangan bagi tentara pejuang.
Namun, sesuai dengan perjanjian KMB, perkebunan tersebut dikembalikan kepada pemilik lama (perusahaan belanda) sehingga rakyat yang menduduki perkebunan kembali keluar dari lahan. Meski pahit, perintah dari pemimpin diikuti oleh rakyat. Namun, hasil-hasil KMB dibatalkan oleh pemerintah pusat sejak Belanda mengulur ulur waktu soal Irian Jaya.
"Karena itu, kebun-kebun swasta Belanda tersebut di nasionalisasi oleh pemerintah dan dijadikan cikal bakal perusahaan perkebunan Negara (PTPN)," ulasnya. Menurut UUPA, hak-hak barat atas tanah dalam perkebunan (erpacht) harus dikonversi menjadi HGU selambat-lambatnya 20 tahun sejak 1960 (UUPA diundangkan). Artinya, pada tahun 1980 semua problem hak-hak barat sudah diselesaikan.
JAKARTA -- Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tidak kaget mendengar bentrok antara warga dengan pihak PTPN II di kebun Bandar Klippa, Percut Sei
BERITA TERKAIT
- Setelah 10 Jam Buruh Bertahan, UMSK & UMSP Jateng 2025 Ditetapkan
- Guru Les di Palembang Ditangkap Gegara Pelecehan Seksual terhadap Murid
- Harimau Sumatra Memangsa Ternak Milik Warga di Pesisir Barat Lampung
- Selamat, Pemprov Jateng Raih 3 Penghargaan Pengelolaan Keuangan Daerah
- Gereja Katolik Santo Fransiskus Asisi Singkawang Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya
- Ada Potensi Bencana Akhir Tahun, Basarnas Menyimulasikan Gedung-Gedung di Jakarta Runtuh