Berakhirnya Politik 'Wani Piro'

Berakhirnya Politik 'Wani Piro'
Berakhirnya Politik 'Wani Piro'
Pelajaran kedua, kata Hamdi Muluk, bahwa rakyat lebih menyukai sosok yang apa adanya, tidak berlagak sok pejabat. "Bahwa berpolitik harus berawal dari otentisitas, tidak pura-pura, tidak dibuat-buat, tidak dibungkus pencitraan," kata pria kelahiran Sumbar itu.

Ketiga, bahwa untuk memenangkan pertarungan di pilkada, tidak harus mengandalkan uang. Kemenangan Jokowi-Ahok, kata Hamdi, membuktikan bahwa uang dan kekuasaan bukan penentu kemenangan. Pilgub DKI merupakan tanda berakhirnya politik wani piro (berani bayar berapa).

"Wani piro sudah tidak terbukti. Berpolitik tidak harus dimulai dengan wani piro. Agenda kerja yang justru sangat menentukan, khususnya untuk pilgub," beber Hamdi. Pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara), yang di putaran kedua mendapat dukungan koalisi sejumlah partai besar, tetap saja tidak mampu menggerogoti suara Jokowi-Ahok yang juga meraih suara terbesar di putaran pertama.

Bau politik uang dari kubu Foke-Nara, juga tidak berpengaruh. Seorang warga DKI kepada koran ini cerita, dirinya menerima surat undangan memilih yang juga diselipi uang Rp100 ribu. "Katanya sudah dijatah. Disuruh milik Foke. Tapi saya tetap akan milih Jokowi," ujar perempuan tukang cuci itu, sehari sebelum pencoblosan.

JAKARTA - Banyak hal yang bisa dipetik dari pilgub DKI Jakarta. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Hamdi Muluk MSi,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News