Berjuluk James Bond Melayu, Kepalanya Dihargai USD 50 Ribu

Berjuluk James Bond Melayu, Kepalanya Dihargai USD 50 Ribu
Andy Zulkifli (kanan) berbincang bersama temannya di kedai kopi Ria Tanjungpinang, Kamis (30/1). FOTO: Yusnadi/Batam Pos

Prestasi kerjanya sebagai detektif, membanya ke tampuk lebih tinggi. Kemudian Zul dilantik sebagai detective first class. Tidak sembarang orang punya kesempatan mendapatkan jabatan elit di dunia investigasi tingkat dunia. Sehingga, tidak mengherankan pula, kepala Zul pernah dihargai USD 50 ribu, bagi sesiapa yang bisa menembaknya. "Yang melakukan itu para gangster di Manhattan, yang sakit hati dengan saya," kenang bapak dua anak ini. 

Ceritanya terhenti sesaat. Ia meraih gelas tehnya dan menyeruputnya. Kemudian, ia mengambil iPad dari tas kecil di sampingnya. Dari situ terlihat, foto-foto yang mengabadikan kehidupan Zul saat di Amerika. Termasuk ketika masih bertugas sebagai anggota elit NYPD. Beberapa kali ia menyebutkan beberapa nama rekan kerjanya. Satu nama pesohor yang ia sebut adalah Robert Michael Gates, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan ke-22 Amerika Serikat. "Whatever, I still love Tanjungpinang," katanya dengan bahasa Inggris, seraya menutup iPad-nya. 

Awal Mula Jadi NYPD

Masa kecil Zul, ia habiskan di Tanjungpinang. Namanya tercatat sebagai alumni SDN 06 Tanjungpinang dan SMPN 2 Tanjungpinang. "Di SMAN 1, saya nggak lulus," ujarnya seraya tertawa. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan menengah atasnya di Singapura. Nasibnya masih sama. Ia keluar tanpa selembar ijazah. Kata dia, sekolah tidak mengantarkannya pada cita-citanya. "Karena cita-cita anak muda Tanjungpinang tahun 1970-an itu cuma jadi pelaut," ceritanya. "Yes. Being a seaman," tegasnya. 

Karena, kata Zul, hanya pelautlah yang paling disegani di Tanjungpinang saat itu. "Di Taman Sari (salah satu kedai kopi, red), mereka bisa traktir seluruh orang yang ngopi," tutur Zul. "Mereka punya segala daya tarik dengan jaket Levi's, rambut panjang, sepatu jenggel. Duitnya pun dollar semua," kenang Zul. Maka, ketika ditawari untuk menjadi pelaut, Zul tidak berpikir dua kali. Ia merasa cita-citanya sudah di depan mata. 

Pada 1973, usai ayahnya, Daeng Haji Maekah, meninggal dunia, Zul muda mulai menulis legendanya. Dimulainya dengan pergi ke kawasan Ateng, Singapura. Kawasan itu merupakan tempat pelaut-pelaut Indonesia menanti kapal-kapal besar lego jangkar. Saat itu, seperti yang diterangkan Zul, para pelaut dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, naik kapal tangker, yang bongkar-muatnya hanya satu atau dua hari saja. Atau, kedua, naik kapal kargo, yang proses bongkar-muatnya memakan waktu lama di beberapa pelabuhan di penjuru dunia. "Kebanyakan anak muda pilih kapal kargo. Termasuk saya," kata Zul. 

Saat itu, Zul muda sudah mempertimbangkan pilihannya. Setiap kapal kargo yang lego jangkar di suatu negara, kata dia, memberikan kesempatan pada pelautnya untuk sejenak menikmati negara-negara yang disinggahi. "Walau hanya sekadar untuk minum," kata Zul. 

Pilihan ini melayarkan Zul muda hingga Amerika Serikat. Karena merasa nyaman berada di negeri dollar, Zul muda dan beberapa rekannya, nekat melakukan Jump Ship. Jump Ship merupakan istilah untuk menyebut pelaut muda yang melompat dari kapal dan mendiami negara persinggahan. "Kapal itu hanya batu loncatan saja," kenang Zul sambil terkekeh. 

Pria berbadan gempal berkaus abu-abu itu duduk di kedai kopi Ria Jalan Bintan. Ia membuka topi fedoranya. Hampir seluruh rambutnya memutih. Sepintas,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News