Berlin Merasa Sudah Tidak Tahan Lagi, Ingin Disuntik Mati

Berlin Merasa Sudah Tidak Tahan Lagi, Ingin Disuntik Mati
SUNTIK MATI: Berlin Silalahi, tergolek lemas diatas tikar didampingi anak dan isteinya di ruangan dapur kantor Advokasi Rakyat Aceh (YARA), akibat menderita penyakit lumpuh sejak tahun 2013 lalu, Banda Aceh, Kamis (4/5). Foto: HENDRI/RAKYAT ACEH

Tak sanggup menahan beban ekonomi yang berat dan sakitnya semakin parah, Berlin akhirnya memilih untuk memohon suntik mati saja.

’’Ini keputusan saya yang terbaik, untuk menghilangkan penderitaan yang saya alami.’’

Ratnawati, istri Berlin, mengungkapkan, suaminya putus asa menghadapi beban hidup dan penyakitnya yang makin parah.

’’Saya terkejut mendengar bapak mengatakan seperti itu. Saya sudah berupaya melarang, tapi bapak tetap pada kemauan kerasnya untuk minta disuntik mati,’’ kata Ratnawati yang didampingi Ketua YARA Safaruddin.

Humas PN Banda Aceh Eddy SH menyebutkan, Indonesia tidak mengenal eutanasia. Seingat dia, pengadilan belum pernah menerima pengajuan permohonan suntik mati karena tidak ada dalam hukum positif. Yang ada adalah hukuman mati atas putusan pengadilan.

’’Tapi, silakan saja diajukan. Nanti kalau sudah ada dasarnya, kami proses. Tapi, yang pasti, eutanasia tidak ada dalam hukum positif di Indonesia. Yang ada di Belanda,’’ tandasnya.

Pernyataan senada diungkapkan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar. ’’Di Amerika Serikat itu disebut mercy killing. Hak untuk mati,’’ jelasnya kepada Jawa Pos kemarin (4/5).

Di tanah air, lanjut Fickar, hukuman mati dengan cara disengaja dikualifikasikan sebagai pembunuhan sesuai dengan pasal 338 KUHP. Itu berlaku meski secara sosiologis apa pun kehendak seseorang merupakan pilihan dan haknya.

Penderitaan terus menguntitnya hingga usianya 52 tahun. Dia pun akhirnya menyerah. Dia ingin mati secara ’’legal’’ dengan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News