Bermain Yoyo versus Bercermin Diri

Bermain Yoyo versus Bercermin Diri
Bermain Yoyo versus Bercermin Diri
Rakyat tak berharap tiba-tiba kaya-raya. Tapi setidaknya jurang kaya-miskin tak kian lebar dengan cara menyusun konfigurasi APBN yang prorakyat yang papa dan melarat. Pemilih sebagai “pangeran demokrasi” yang memberi “pedang kekuasaan” kepada partai pemenang Pemilu dan Pilpres, betapa tak berahlak jika digunakan “menebas leher” rakyat. 

***

Saya teringat Mas Isnaeni yang tak langsung mengajak massa di Gedung Olahraga Medan untuk memilih PNI (Partai Nasional Indonesia) pada Pemilu 1971 silam. “Mas Isnaeni, sungguh sakit hati sekarang,” katanya. Tiga kali kata-kata itu, ia ulang. Mengapa sakit hati, Mas? Beruntunlah kalimat Isnaeni tentang betapa masih banyak rakyat Indonesia yang tinggal di gubuk reot, perutnya lapar dan pendidikannya rendah. “Mereka miskin karena dimelaratkan oleh sebuah sistem,” pekik Isnaeni.

Ketika hadirin terkesima, Isnaeni meracik ilmu retorika dan berkata bahwa untuk itulah PNI datang demi melawan sistem yang memelaratkan kaum Marhaen. Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai bak hendak membelah Gedong Olahraga Medan itu.

SEORANG perempuan berurai air mata. Seorang pria di pojok yang lain menangis sesenggukan karena bangga mempunyai pemimpin yang memberi harapan bagi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News