Bermalam di Hutan, Dijaga Anjing Liar Hitam

Bermalam di Hutan, Dijaga Anjing Liar Hitam
Bermalam di Hutan, Dijaga Anjing Liar Hitam
Semua peralatan untuk pendakian (telanjur dikirim Paimo, Red) ke Rabat (ibu kota Maroko). Namun, ada peluang di depan pelupuk mata. Tidak sekadar bonek (bondo nekat). Tapi, semua sudah saya perhitungkan. Dengan pemikiran, kalaupun tidak punya tenda, setidaknya bisa bermalam di hut (pondok pendaki)

 

Keesokan harinya, dengan menumpang taksi, kami menuju Imlil. Dari sana kami berjalan kaki sekitar enam jam sampai hut terakhir yang dinamai Refuse du Toubkal (3.207 meter).  Kami berkemah dengan tenda sewaan dari hut dan menggunakan selimut tebal sebagai pengganti sleeping bag. Malam itu hujan lebat diawali hujan es. Suhu udara meluncur drastis ke kisaran 12 derajat Celsius. Tapi, kami bertiga bertahan di dalam tenda, meringkuk dalam selimut.

 

Baru keesokan harinya kami bertiga melanjutkan pendakian ke puncak Jbel Toubkal. Walaupun tertatih-tatih, akhirnya kami sampai juga di puncak gunung tersebut. Pemandangan alam yang menakjubkan dari puncak membayar seluruh jerih payah upaya pencapaiannya. Bagi saya, Gunung Jbel Toubkal merupakan gunung ke- 57 yang pernah saya daki. Ini sekaligus gunung ketiga di Afrika yang pernah saya daki setelah Gunung Kilimanjaro (5.896 meter) dan Gunung Kenya atau Point Lenana (4.985 meter).

 

Kalau dulu saya mendaki Gunung Kilimanjaro sebagai gunung tertinggi di Benua Afrika dengan mengendarai/membawa sepeda hingga puncak (Uhuru Peak), kali ini tidak. Sebab, saya sadar sudah tidak muda dan setangguh dulu lagi. Namun, saya tetap bangga bisa sampai di Maroko dengan mengayuh sepeda sejauh 3.538,5 kilometer. Ini bukan sekadar mengandalkan kekuatan dengkul, tapi juga determinasi yang tinggi.

 

Setelah 48 hari mengayuh pedal, pengelana bersepeda asal Malang yang kini tinggal di Bandung, PAIMO HERTADIMAS, menyelesaikan perjalanan melintasi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News