Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri

Berontak dari Tradisi, Sekolah hingga Luar Negeri
Abdul Manan. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

’’Saat ini, sudah 111 orang Bajo yang kuliah di Unhalu. Sebelas orang di fakultas kedokteran,’’ ungkap Manan.

’’Kami juga tengah menjalin kerja sama dengan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung,’’ sambungnya.

Tahun lalu, tepatnya 7–9 November 2013, Manan menginisiatori Festival Bajo Internasional di Wakatobi. Seluruh perwakilan Bajo dari berbagai negara hadir. Mereka menggelar berbagai upacara dan ritual adat.

Salah satu lomba yang khas adalah Piddanang Mando, yakni lomba menahan napas di dalam laut. ’’Saat itu, rekor yang tercipta sekitar 12 menit,’’ kata Manan.

Warga Bajo memang dikenal ahli menyelam. Mereka bisa menyelam cukup lama di laut tanpa bantuan peralatan. Seorang warga Bajo di Desa Sama Bahari, Sampela, dekat Pulau Kaledupa, La Oda, dipercaya bisa menyelam hingga lebih dari 20 menit tanpa alat bantu pernapasan. Dia sempat diundang ke Jerman untuk free diving di sana.

Sayangnya, saat Jawa Pos singgah di Sampela, perkampungan Bajo di seberang Pulau Kaledupa, La Oda sedang pergi melaut.

Namun, anak-anak Bajo di Sampela memperlihatkan kepada Jawa Pos kelihaian mereka sebagai free diver. Anak-anak berusia 4–6 tahun itu pamer menyelam 5 menit tanpa alat bantu pernapasan.

’’Itu yang paling lama namanya Kardo. Dia masih 4 tahun,’’ ujar Abdullah, warga Bajo di Sampela.

SUKU Bajo kini tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Jumlahnya puluhan ribu orang. Menariknya, pemimpin suku yang rumahnya di atas laut itu adalah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News