Bertemu Ishi Michiko, Survivor Pengeboman Hiroshima
Bukan Berkubang dengan Luka Lama, tapi untuk Obati Kangen
Tangis Michiko semakin keras. Dia merasa sangat takut. Takut akan terjadi ledakan lagi, takut tentang bagaimana keadaan keluarga, dan takut akan nasib dia selanjutnya. Pelukannya pun semakin erat dalam gendongan. Tangannya melingkar ke leher si tetangga yang dia sudah lupa namanya itu sekaligus menyembunyikan wajah dalam pelukan.
Bertumpu pada kesaksian enam survivor seperti Michiko, jurnalis John Hersey menggambarkan dengan sangat hidup kondisi di Hiroshima sebelum dan sesudah pengeboman itu di majalah New Yorker edisi 31 Agustus 1946. Karya Hersey yang diberi titel ”Hiroshima” tersebut semula direncanakan untuk ditampilkan secara berseri dalam empat edisi. Tapi, William Shawn, asisten redaktur yang menugasi Hersey ketika itu, berhasil membujuk Harold Ross, pendiri New Yorker, untuk menampilkannya dalam satu edisi sekaligus.
Keputusan New Yorker tersebut bermuara pada lahirnya karya jurnalistik yang dianggap pionir jurnalisme sastrawi, yakni gaya penulisan jurnalistik yang mengadopsi gaya penulisan fiksi. ”Hiroshima” lantas dibukukan dan terjual sekitar tiga juta kopi sampai kini.
Sebagaimana ”Hiroshima” juga menggambarkan perjuangan para survivor mencari orang-orang tercinta, yang pertama dilakukan Michiko begitu sampai di tempat aman ialah mencari kabar tentang ayah-ibu dan saudara perempuannya.
Sekali mencari tidak menemukan, dua kali juga berakhir nihil. Tapi, dia tidak patah semangat. Ditanamkannya kuat-kuat harapan dalam benak bahwa keluarganya bakal kembali berkumpul bersama. Sampai kemudian datanglah kabar itu: seluruh anggota keluarganya menjadi korban tewas pengeboman.
”Saya menangis sejadi-jadinya, tapi orang sekeliling saya memberikan semangat. Kamu harus terus hidup,” ujarnya mengenang.
Akhirnya, memang itulah yang dia lakukan: meneruskan hidup. Dengan peristiwa kelam itu tak pernah beranjak dari kenangan, Michiko tumbuh bersama keluarga yang mengadopsi, menikah, dan memiliki tiga orang anak.
”Suami saya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Anak saya sudah berkeluarga semua. Kini saya turut membantu merawat cucu-cucu saya,” ucap pemfavorit sushi tersebut.
Hari-hari Ishi Michiko kini tetap banyak dihabiskan di sekitar monumen yang selalu membawanya kembali ke kenangan kelam akibat bom atom 70 tahun
- Eling Lan Waspada, Pameran Butet di Bali untuk Peringatkan Melik Nggendong Lali
- Grebeg Mulud Sekaten, Tradisi yang Diyakini Menambah Usia dan Menolak Bala
- AKBP Condro Sasongko, Polisi Jenaka di Tanah Jawara
- MP21 Freeport, Mengubah Lahan Gersang Limbah Tambang Menjadi Gesang
- Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas
- Kolonel Zainal Khairul: Pak Prabowo Satuan Khusus, Saya Infanteri dari 408