Bertemu Satpol Tampan Sekali

Bertemu Satpol Tampan Sekali
Bertemu Satpol Tampan Sekali
Memori Koja

Saya membayangkan, nama Koja mestinya harus segera mengingatkan anggota Satpol PP, juga komandan dan atasan mereka, Walikota dan Gubernur, kepada Peristiwa Priok pada 1984. Kala itu pun, tempik sorak terdengar dan kemudian darah berlelehan. Memori kolektif kita kembali kecut.

Di Koja juga terhimpun masyarakat miskin yang dikalahkan oleh sistem perekonomian. Di Koja juga ada FPI dan umat yang memandang tokoh agama seperti Mbah Priok sebagai pemuka sakral dan kharismatik.

Potret macam itu, mestinya secara psikologis-sosial membutuhkan pendekatan yang tepat. Apalagi jika komunikasinya tak jelas, misalnya mana yang hendak dibongkar dan mana yang tidak akan segera menimbulkan resistensi yang dahsyat.

Saya menjadi terbayang bahwa dekonstruksi Satpol PP itu akan menyangkut pola rekrutmennya. Harus menepiskan pelamar yang berlatar mantan preman atau residivis. Ini bukan generalisasi. Tapi, melihat kasus Satpol PP di berbagai belahan tanah air, sinyalemen itu layak diverifikasi.

WAKTU semalam, Bung, aku bermimpi. Bertemu Satpol PP, Bung, tampan sekali. Aku menjerit, Bung, aduh, sayang sekali hanya dalam mimpi. Padahal jika

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News