Besek Wadas
Oleh: Dahlan Iskan
“Saya belum membaca laporan Kiai Imam. Tapi ini hanya khusus yang mengalami peristiwa secara fisik," jawabnya.
"Anda juga warga NU?" tanya saya ke Ashadi.
"Iya. Saya nunut udut," kelakarnya. NU memang biasa diplesetkan dengan nunut udut (ndompleng ikut merokok) lantaran banyak orang NU yang perokok berat.
Saya terus menelusuri jalan desa ini. Saya lihat banyak yang menjemur irisan bambu ukuran tipis-tipis di teras rumah. Itulah bahan baku untuk membuat besek –kotak terbuat dari anyaman bambu.
Hampir semua wanita di Desa Wadas jadi perajin besek. Bahan baku melimpah: bambu apus. Yang bisa diiris-iris sampai setipis kain. Ada mobil pikap yang mengumpulkan besek yang sudah siap jual: satu pasang besek Rp 1.700 (wadah dan tutupnya). Begitu murah harganya –membuat mereka bertahan menghadapi besek modern berbahan dari plastik.
Sampailah saya ke sebuah rumah di pinggir parit. Dinding depannya penuh gambar dan tulisan. Pun di dinding sampingnya. Saya lihat seperti ada tulisan yang berbentuk puisi. Maka saya baca tulisan itu, dengan gaya seorang penyair amatiran. Lihat videonya di IG saya.
Setelah itu saya duduk di badug parit sebelah rumah. Ngobrol dengan warga di sekitar parit.
"Mana gunung batunya?"
"Itu, di belakang rumah puisi itu," jawab salah satu dari mereka. Mereka menyebut jarak gunung batu dengan rumah puisi tersebut hanya 20 meter. Rasanya lebih sedikit.