BI Jaga Rupiah 11.600 - 11.800 per USD
Menkeu: Depresiasi Hanya Temporer
jpnn.com - JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah belum mereda. Kombinasi fundamental ekonomi dan sengitnya persaingan dalam pemilihan presiden (Pilpres) menekan rupiah hingga kian mendekati level 12.000 per USD.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, rilis data neraca perdagangan April 2014 yang mencatat defisit hingga USD 1,96 miliar memang cukup mengagetkan pasar. Defisit itu dipercaya akan berdampak pada melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit), sehingga makin menekan rupiah.
"Fokus BI adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Untuk APBN Perubahan 2014, kita proyeksi di kisaran 11.600 - 11.800 (per USD)," ujarnya saat rapat dengan Badan Anggaran DPR kemarin (5/6).
Data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI menunjukkan, kemarin rupiah ditutup di level 11.874 per USD, melemah 64 poin dibanding posisi Rabu (4/6) yang di level 11.810 per USD.
Sepanjang pekan ini, rupiah sudah melemah hingga 263 poin dibanding posisi penutupan Jumat (30/5) yang masih di level 11.611 per USD. Posisi rupiah saat ini sekaligus menjadi yang terlemah sejak 14 Februari 2014. Ketika itu, rupiah ada di level 11.886 per USD.
Menurut Agus, secara fundamental, setiap Triwulan II memang menjadi periode tahunan yang cukup berat. Selain potensi defisit neraca dagang akibat tren naiknya impor, pasokan valuta asing (valas) di pasar keuangan juga ketat karena banyak perusahaan yang membayar dividen kepada pemegang saham di luar negeri, serta banyaknya utang valas yang jatuh tempo. "Jadi, wajar kalau saat ini rupiah terdepresiasi," katanya.
Agus menyebut, yang mesti dilakukan pemerintah saat ini adalah memperbaiki neraca dagang agar defisitnya mengecil atau bahkan menjadi surplus. Sebab, data tersebut bakal menjadi sentimen positif yang bisa memperkuat nilai tukar rupiah. "Tapi, sebenarnya masih banyak PR (pekerjaan rumah) penting yang harus dikerjakan untuk menjaga rupiah," ucapnya.
Apa saja itu? Menurut mantan menteri keuangan dan direktur utama Bank Mandiri tersebut, saat ini pasar valas di Indonesia masih dangkal. Salah satu sebabnya adalah masih adanya keengganan eksporter untuk menyimpan devisa hasil ekspornya di perbankan Indonesia.
Pada prakteknya, selama ini banyak eksporter terutama dari sektor migas dan pertambangan mineral batu bara yang lebih senang menyimpan uang hasil ekspor di perbankan luar negeri. "Karena itu, kita harus lebih tegas meminta eksporter untuk memasukkan uangnya ke Indonesia," ujarnya.
JAKARTA - Tekanan terhadap rupiah belum mereda. Kombinasi fundamental ekonomi dan sengitnya persaingan dalam pemilihan presiden (Pilpres) menekan
- DLT Berbagi Rahasia Strategi Kembangkan Bisnis Skincare
- Berdampak Positif, Pemerintah Bakal Perpanjang Insentif PPN DTP bagi Sektor Properti
- Anak Buah Sri Mulyani Klaim Kondisi Perkonomian Indonesia Tetap Stabil jika PPN 12 Berlaku
- Hari Kedua Angkutan Nataru, KAI Divre III Palembang Angkut 6.254 Penumpang
- Tinjau Kesiapan Satgas Nataru, Menteri ESDM: Allhamdulillah, Kondisi Aman
- Kasasi Sritex Ditolak MA, Pemerintah Siapkan Langkah Jika Terjadi PHK