Bidan PTT Berjuang Sembari Mengurut Dada
jpnn.com - BERBEDA dengan perjuangan honorer kategori dua (K2) yang gegap gempita, upaya bidan desa PTT untuk bisa diangkat menjadi CPNS tidak begitu kentara. Padahal sejak empat tahun lalu mereka sudah terus bergerak agar naik status sebagai abdi negara dengan label pegawai negeri.
Bagaimana perjuangan para bidan PTT ini, berikut pernyataan Ketua Umum Forum Bidan Desa PTT (Pusat) Indonesia Lilik Dian Ekasari kepada wartawan JPNN Mesya Mohamad, Kamis (12/11).
Sudah berapa lama bidan PTT berjuang?
Barangkali tak begitu kentara, perlawanan bidan desa berlabel PTT sudah dimulai sejak empat tahunan lalu. Para bidan desa ini semacam turun gunung. Bahkan seberangi lautan, dari nol kilometer di Tanah Rencong bergerak mengepung Ibukota.
Bukannya bidan PTT sudah menerima gaji bulanan, belum lagi ditambah dari ongkos berobat pasien. Kenapa masih melakukan perlawanan?
Keadaan lah yang membuat kami mengangkat bendera perlawanan. Tugas kami sangat berat, tapi tidak diimbangi dengan hak yang kami terima. Biasanya tiap pagi para bidan PTT menyusuri Posyandu, memanggul partus set (seperangkat alat medis untuk membantu ersalinan), kumpulkan kader dan masyarakat (para ibu, bayi, balita hingga manula). Tugasnya tak sesederhana, kerja berjalan kaki berkilometer jadi sarapan pagi. Hingga matahari benar-benar bertengger di atas kepala. Dari satu penyuluhan ke tindakan preventif lainnya. Semisal, tentang bagaimana menurunkan angka gizi buruk/kurang, pemberian Vitamin A setahun dua kali, sebagai instruktur senam hamil di kala sore hari tiba, hingga bertaruh nyawa selamatkan dua nyawa sekaligus, ketika kondisi persalinan yang tak mudah. Bidan desa sebagai pelaksana prioritas program nasional di bidang kesehatan, untuk menurunkan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), sebagai indikator tingkat derajat kesehatan nasional di mata dunia.
Tapi bukankah itu memang kewajiban tenaga kesehatan?
Iya benar, tapi pertanyaan yang sama, apakah pemerintah memperhatikan perjuangan kami di lapangan? Ketika mengantarkan pasien rujukan, kami harus berhadapan dengan ganasnya gelombang di lautan. Tak jarang bidan desa juga terkena insiden.