Bila Kimia Kawin Metalurgi di Kepala Sungging
Oleh Dahlan Iskan
Masalahnya, dari smelter-smelter yang baru dan akan dibangun itu, tidak ada yang merencanakan integrasi seperti itu. Agar biaya investasinya tidak meledak, mereka berprinsip lebih baik impor saja. Waktu merencanakan dulu mereka tidak memperkirakan bahwa dolar akan bergejolak begini.
Lalu, saya tertarik pada e-mail yang satu ini: Dari ahli metalurgi yang latar belakangnya ahli kimia. Mungkin gabungan ilmu kimia dan metalurgi inilah yang membuatnya memiliki konsep yang amat berbeda. Ahli kimia murni atau ahli metalurgi murni mungkin tidak pernah memikirkannya.
Nama orang itu tidak terlalu lazim untuk orang Jawa dari Madiun: Dr Ir Sungging Pintowantoro MSc. Dia lahir di Dolopo dengan bapak anggota TNI/CPM dari Madiun dan ibu dari Babat. Alumni SMAN 16 Surabaya ini masuk ITS jurusan kimia. Lalu, memperdalam kimia lagi di S-2. Masih di kampus yang sama.
Nah, saat memperoleh kesempatan belajar ke Jepang, dia memilih ke Universitas Tohoku di Sendai. Sungging memilih studi metalurgi. Empat tahun Sungging di sana. Sampai memperoleh gelar doktor metalurgi.
Selama di Jepang Sungging menyadari bahwa Jepang tidak punya sumber alam, tapi menguasai teknologi pengolahan sumber alam. Lalu, dia juga tahu bahwa Indonesia sangat kaya akan nikel. Bahkan, dia tahu bahan mentah nikel dari Indonesia itu banyak yang diolah di Tiongkok dengan cara yang dia nilai kurang tepat: Menggunakan teknologi yang aslinya untuk pengecoran baja. Hanya disesuaikan untuk nikel. Karena itu, hasilnya kurang maksimal. Dan teknologi Tiongkok seperti inilah yang banyak didatangkan ke Indonesia belakangan ini.
Dr Sungging lantas merenung. Ingin menciptakan smelter nikel yang memang untuk peleburan nikel. Dia temukan teknologi itu. Dia bangun miniplant-nya di ITS. Sudah diuji. Berhasil. Semua itu menggunakan anggaran penelitian dari Kemenristek.
Sudah banyak yang datang ke ITS untuk bertemu Sungging. Tapi, belum ada satu pun yang menjadi kenyataan.
Saya tidak heran. Inilah problem utama bangsa ini. Sulit mewujudkan hasil penelitian bangsa sendiri. Biarpun penelitiannya dibiayai oleh negara. Saya jamin tidak akan ada BUMN atau perusda atau instansi mana pun yang berani mulai menggunakannya. Pasti akan terperangkap birokrasi. Lalu, terjerat perkara.