Bohong Ala Giring

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Bohong Ala Giring
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

Kalau zaman sekarang disebut sebagai post-truth apakah sebelumnya kita hidup di zaman ‘’truth’’, zaman yang penuh dengan kebenaran?

Ternyata tidak juga. Zaman sebelum post-truth juga penuh dengan kebohongan, tetapi kebohongan itu tetap menjadi kebohongan. Beda dengan era post-truth ketika kebohongan bukan lagi sebuah kebohongan.

Sebagaimana pos-modernisme, pos-strukturalisme, dan sederet istilah “pos” lainnya, konsep post-truth berkonsekuensi kepada anggapan bahwa pernah ada era truth. Bahwa kebenaran pernah mendominasi kepercayaan dan pembuatan keputusan di masyarakat.

Dalam praktiknya, kebohongan dan manipulasi telah mendominasi kepercayaan dan diskursus politik sejak awal peradaban manusia. Pada Republik Romawi Kuno, misalnya, orasi-orasi populis dalam senat lebih mementingkan kelincahan retorika daripada ketepatan data.

Bahkan di era modern, hoaks dan sentimen telah menjadi bahan bakar konflik terbesar sepanjang sejarah seperti yang dilakukan Nazi dengan berbagai propagandanya dalam Perang Dunia Kedua.

Sejak zaman Romawi sampai zaman Nazi dan berlanjut sampai era Jokowi sekarang era “kebenaran” bisa dibilang tidak pernah ada.

Prasangka, emosi, dan kepercayaan sejak dulu lebih mudah mendominasi pendapat publik daripada rasio.

Oxford Dictionaries, salah satu kamus online terkemuka di dunia yang dibuat oleh Universitas Oxford, telah memilih 'post-truth' sebagai 'Word of the Year' atau 'Istilah Tahun Ini' pada 2016.

Nama Giring tenggelam, nyaris tidak terdengar. Tiba-tiba beberapa hari terakhir ini namanya muncul lagi dan menjadi viral.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News