BPIP: Menangkal Pelemahan Budaya Hukum Lewat Penegakan Etika Berbangsa dan Bernegara

BPIP: Menangkal Pelemahan Budaya Hukum Lewat Penegakan Etika Berbangsa dan Bernegara
Para pembicara diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara bertema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/9/2024. Foto: Humas BPIP

Sistem politik otoritarianisme ini dapat menjebak penyelenggaran negara pada sikap penghambaan kepada presiden, yang terungkap dengan digunakannya istilah “raja” oleh elite politik.

Sikap penghambaan kepada presiden seperti ini mengakibatkan minimnya pengawasan dan kontrol.

Lembaga Parlemen (legislatif) jauh dari efektif, karena hanya menjadi alat penguasa (eksekutif), menjadi stempel (rubber stamp) terhadap keputusan eksekutif. Penyalahgunaan konsep politik kekeluargaan, yang direduksi secara sempit sebagai bagi-bagi kue kekuasaan, menyandera mereka yang berseberangan dan kritis terhadap kekuasaan.

“Paling fatal ialah problem autokrasi legalisme atau kondisi ketertutupan sistem politik terkait upaya manipulasi hukum. Bisa disebut juga dengan despotisme baru. Bagaimana pemimpin berupaya untuk menempatkan dirinya lebih tinggi dari kekuasaan lain dengan cara manipulasi atau upaya mempermainkan hukum atas nama menghancurkan rule of law itu sendiri,” kata Pakar Politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi.

Dengan menggunakan hukum sebagai instrumen penekan dan pembenar keinginan rezim yang sedang berkuasa, elite politik tidak lagi berdaya untuk berperan sebagai oposisi.

Resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam prikehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.

Problematika ini pada akhirnya merambat pada kehidupan demokrasi yang cukup serius, diantaranya pembatasan dan ancaman terhadap diskusi akademis di kampus-kampus, pembatasan kontestasi pemilu dengan penerapan threshold yang tinggi sehingga menciptakan koalisi gemuk.

Praktik politik kolutif seperti ini menyebabkan sistem demokrasi hanyalah bersifat prosedural, makin menjauh dari demokrasi substantif yang seharusnya mengandung unsur representasi publik, rule of law, right and responsibility, dan partisipasi publik.

Resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam prikehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News