BPIP: Menangkal Pelemahan Budaya Hukum Lewat Penegakan Etika Berbangsa dan Bernegara

BPIP: Menangkal Pelemahan Budaya Hukum Lewat Penegakan Etika Berbangsa dan Bernegara
Para pembicara diskusi kelompok terpumpun (FGD) Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara bertema Budaya Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/9/2024. Foto: Humas BPIP

1. Revisi UU Partai Politik untuk mengakomodir Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), menegakkan desentralisasi politik, dan mengembalikan kedaulatan anggota partai.

2. Reformasi sistem pendanaan politik melalui alokasi anggaran negara yang lebih transparan dan akuntabel untuk pembiayaan parpol guna menopang program kaderisasi, rekrutmen politik melalui pemilihan internal, serta penerapan syarat minimal sebagai kader selama waktu tertentu untuk pengisian jabatan politik.

3. Kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah undang-undang menuju koherensi dan konsistensi pengaturan hukum pemilu di Indonesia.

4. Evaluasi sistem pemilu dan model keserentakan pemilu. Pemilu dilakukan dengan dua model keserentakan: Pemilu Serentak Nasional (memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD) dan Pemilu Serentak Lokal (memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota), dengan masa jeda 2 (dua) tahun. Agar mesin partai selalu bekerja serta pemilih bisa mengevaluasi kinerja partai dan elite politik secara berkesinambungan.

5. Menetapkan ambang batas jumlah anggota pendukung koalisi partai hingga tidak tercipta oligarki politik yang membahayakan proses berpolitik dan pengambilan kebijakan yaitu dengan ambang batas paling besar 60% dari seluruh partai politik yang mengisi parlemen.

6. Pengesahan UU Pembatasan Transaksi Uang Kartal untuk memotong mata rantai jual beli suara di pemilu dan pilkada.

7. Rekonstruksi persyaratan ambang batas pencalonan presiden untuk mengurangi dan menghilangkan hambatan dalam pencalonan dan menghadirkan kontestasi elektoral yang lebih inklusif.

8. Mengatur masa transisi kepemimpinan nasional (lame duck period) guna mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan pada masa transisi pascapemilu nasional. Masa jeda antara hasil pemungutan suara dan pelantikan calon terpilih dibuat tidak terlalu lama.

Resultante dari kekisruhan etika dan tekanan politik seperti ini bermuara pada budaya oligarki dalam prikehidupan berpolitik, bernegara dan berbangsa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News