Bubble Alfonso
Oleh: Dahlan Iskan
Walau daratan Hong Kong lebih nempel ke Tiongkok, tapi Hong Kong merasa lebih klop dengan Taiwan. Tulisannya, demokrasinya, kebebasan internetnya, kebebasan bicaranya, dan sebagainya. Merasa senasib, walau beda sejarah.
Kehidupan di Taiwan masih ramai. Normal seperti biasa. Infiltrasi Tiongkok beberapa waktu lalu dianggap enteng oleh mayoritas rakyat Taiwan. ”Hidup kan harus tetap bergulir”, kata mereka.
Banyak restoran yang masih buka seperti 2,5 tahun lalu. Jangan khawatir kehausan dan kelaparan di Taiwan. Bahkan banyak restoran yang lantai bawah dan atasnya beda pemilik, beda nama restoran. Sampai ada restoran yang di bawah tanah. Persaingan begitu ketat.
Saya jarang menjumpai restoran yang kosong pengunjung. Daya beli warganya tinggi, termasuk anak-anak mudanya.
Mahasiswa lokal di Taiwan sudah terbiasa bekerja part-time (??, dagong) saat kuliah. Anak kuliahan yang mampu makan enak pun jamak dijumpai di sini. Kebiasaan makan orang Taiwan beda dengan orang Indonesia.
Orang Taiwan selalu memesan tambahan 2-3 side dish -selain porsi utama- saat makan. Jadi, kalau pesan bakmie, selalu ada tambahan piring lain yang isinya telur, tahu, atau sayur lainnya di samping.
Jadi, mustahil melihat orang Taiwan hanya makan nasi putih dengan paha ayam goreng saja. Selalu ada sayur tambahan di sampingnya. Cowok-cewek makan sama banyaknya. Bukan rakus, bukan lapar. Tapi memang dibiasakan makan kenyang sejak kecil.
Dan saat makan, mereka lebih sering tersedia kuah daripada teh. Tidak ada yang jual minuman di restoran pada umumnya. Kuah gratis, self-service. Anda sudah tahu, Taiwan adalah negara pengekspor bubble tea. Yang kini jadi trend anak muda dunia.