Budak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Budak
Perdana Menteri Kerajaan Belanda Mark Rutte di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (7/10/2019). Arsip/Foto: Ricardo

Ketika secara resmi sistem perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1860 perbudakan di Batavia masih terjadi.

Orang-orang Belanda masih hobi menangkapi sekaligus menjual secara diam-diam orang-orang di pedalaman Nusantara.

Praktik perbudakan di Nusantara mulai jarang terdengar dan mulai habis ketika zaman memasuki abad ke-20.

Ada kecurigaan sejarah perbudakan di Hindia ini secara sengaja dikaburkan oleh Belanda sampai sekarang, sehingga generasi milenial tidak mengetahui adanya praktik kejahatan kemanusiaan ini.

Eksploitasi dan imperialisme yang dilakukan oleh VOC di Hindia Belanda malah dianggap sebagai kehebatan bangsa Belanda dalam persaingan perdagangan internasional.

Yang diakui secara dangkal oleh Belanda sekarang hanya perbudakan di Suriname dan Antila dan juga Curacao, yang notabene adalah ada di wilayah Barat, tetapi pengisapan dan penjajahan di Hindia Belanda tidak diakui secara terbuka.

Keterlibatan Belanda dalam perbudakan berjalan seiring dengan perluasan kepentingan kolonial dan perdagangannya di seluruh dunia pada abad ke-17, yang disebut di Belanda sebagai Zaman Keemasan.

Setelah pendirian perusahaan perdagangan Dutch East India Company (VOC) pada 1602 dan Dutch West India Company (WIC) beberapa tahun kemudian, perdagangan, termasuk budak, berkembang pesat. 

Belanda harus mengakuinya terus terang dan meminta maaf, serta membayar ganti rugi untuk bangsa Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News