Bukan Blessing in Disguise
Selasa, 30 Juni 2009 – 22:24 WIB
Unik dan genit. Inilah kesan yang muncul ketika elit peneliti mengajak masyarakat memandang Pilpres dari angle peristiwa ekonomi. Mana yang lebih murah ongkosnya? Para responden logis saja memilih satu putaran karena akan terhemat XY rupiah, yang tadinya 2 XY rupiah. Selain naif, angle itu juga salah pasang karena Pilpres adalah peristiwa politik. Bahkan jika semata anggaran yang menjadi paling utama, sesungguhnya Pilpres satu putaran pun tidak efisien dibanding system perwakilan ala MPR Orde Baru. Lebih ekstrim lagi, yang paling efisien adalah sama sekali tanpa Pilpres, dan cukuplah dilakukan dengan konsensus antar elit politik, seperti terpilihnya dwitunggal Soekarno-Hatta pada 1945 silam.
Alasan Pilpres dua putaran dianggap membosankan, sebetulnya bukan karena institusi demokrasinya. Jangan-jangan karena kualitas kampanye Pilpres yang terkesan lebih megejar kekuasaan, ketimbang mejajalkan konsep yang membangkitkan harapan public. Apalagi demokrasi dengan system one man one vote pun sudah merupakan kebutuhan, ketimbang diserahkan saja kepada MPR seperti di masa Orde Baru yang walaupun lebih efisien.
Baca Juga:
Pilpres sebagai proses demokratisasi berbeda dengan pabrik otomotif yang menghasilkan mobil. Produk Pilpres jelas adalah terpilihnya presiden dan akilnya yang kelak tampil sebagai lokomotif bangsa dan negara menuju cita-citanya. Hal ini menjadi penting, karena pemimpin di sebuah Negara demokrasi niscaya menjadi lokomomotif yang dikendalikan oleh inspirasi dan aspirasi pemilihnya. Inilah yang membedakan negara demokrasi dan diktatur.
Baca Juga: