Bukan di Monas, Tapi Di Citangkolo
Oleh: Muhammad Sulton Fatoni (Ketua PBNU)
Bedanya, jika pada Muktamar NU 1930 para kiai membahas terma ‘kafir’ perspektif teologis sedangkan pada Munas Alim Ulama dan Konbes Nahdlatul Ulama 2019 di Citangkolo ini para kiai menuntaskan pembahasan tentang ‘kafir’ perspektif kebangsaan dan keindonesiaan.
Penuntasan pembahasan terma ‘kafir’ perspektif teologis dan keindonesiaan ini tentu melegakan. Bayangkan, pembahasan terma ‘kafir’ yang dimulai sejak 1930 baru tuntas pada 2019 sehingga setidaknya ada rentang waktu selama 89 tahun.
Maka pertanyaan yang menggelitik adalah, sejauh mana tingkat kerumitan terma ‘kafir’ hingga para kiai baru berhasil menuntaskannya? Bagi para kiai, cukup mudah membahas terma ‘kafir’ atau ‘non-muslim’. Tingkat kesulitan bukan pada proses pembahasan terma ‘kafir’ atau ‘nonmuslim’ namun pada proses penemuan kasus ‘kafir’ dalam ranah kebangsaan dan keindonesiaan.
Terma ‘kafir’ yang pada awalnya bersifat teologis kemudian ditemukan menjadi problem saat berada di area publik yaitu ketika masyarakat berkumpul dalam sebuah entitas bangsa dan Negara yaitu Indonesia. Kasus yang mirip terjadi dengan terma ‘kafir’ saat ini adalah saat Muktamar NU 1936 di Banjarmasin.
Di mana para kiai menghadapi problem sosial masyarakat yang dilanda kecemasan dan ketakutan beragama di era kolonialisme. Mereferensi kepada Syekh Abdurrahman Ba Alawy dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, para kiai akhirnya mengenalkan istilah ‘dar Islam’ (tanpa ‘al’), bukan ‘darul Islam’.
Terma ‘Dar Islam’ dalam konsep para kiai yaitu cita-cita kehadiran sebuah tatanan bernegara yang memberikan jaminan kebebasan warga negara menjalankan agama yang dianutnya. Sebuah impian kelahiran suatu negara yang dihuni oleh penduduk muslim yang bebas beragama sesuai keyakinannya. Jadi pada Muktamar 1936 itu para kiai tidak mengenalkan istilah ‘darul Islam’.
Penuntasan konsep ‘dar Islam’ yang dibahas para kiai pada 1936 akhirnya menemukan momentumnya pada saat 18 Agustus 1945 yang dikuatkan pada saat Musyawarah Nasional Alim Ulama di Sukorejo Situbondo pada 1983 di mana NU melahirkan Deklarasi Hubungan Pancasila dengan Islam.
Rentang waktu 47 tahun (1936 s/d 1983) sekali lagi bukan karena para kiai kesulitan menuntaskan terma ‘dar Islam’ tapi lebih pada aspek momentum fenomena sosial kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ribuan kiai berkumpul di Citangkolo itu untuk menuntaskan beberapa problem kemasyarakatan dan kenegaraan, yang tidak jarang meliputi berbagai bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, misalnya soal pendidikan, kesehatan, sampah plastik dan lainnya.
- Pemuda Kristen Jakarta Kecam Pernyataan Bermotif SARA Menteri Maruarar Sirait
- Warga Non-Muslim Ikut Berpuasa di Bulan Ramadan Sebagai Bentuk Solidaritas Untuk Palestina
- Hotman Paris Soroti Pria Nonmuslim Ikut Salat Id di Ponpes Al Zaytun, Begini Katanya
- Inilah Nonmuslim di Saf Paling Depan saat Salat Idulfitri di Pesantren Al Zaytun
- Viral, Pria Berjubah Merebut Mikrofon Masjid, Berteriak Ingin Perangi Orang Kafir
- Luhut hingga Sigit Layak Menjadi Kandidat Cawapres Mewakili Figur Nonmuslim