Bukan Lagi Sekadar Trump Lawan Hillary
Oleh Dahlan Iskan
Trump memang sering menyerang secara pribadi lawan politiknya. John Kasich yang kalem dan langsing itu dia serang dengan panggilan si kurang energi. Padahal, menjadi presiden itu perlu banyak energi. Marco Rubio yang tubuhnya mungil itu dia gelari ”si kecil Rubio”. Kesannya: mana bisa anak kecil jadi presiden.
Bahkan, tokoh yang mendukung Cruz ikut dihabisi. John McCain yang saat jadi capres tujuh tahun lalu membanggakan diri sebagai patriot perang di Vietnam ikut ditumbangkan. ”McCain itu bukan pahlawan,” ujar Trump. Itu didasarkan pada fakta bahwa saat perang di Vietnam, McCain tertangkap Vietcong. Seorang hero di mata Trump barangkali harus seperti Rambo.
Tuduhan-tuduhan Trump yang sangat pribadi seperti itu memang ampuh sebagai pembangkit emosi sesaat. Sebaliknya, cap itu akan menempel terus pada korbannya. Seumur hidup. Terbunuhlah karakter. Karir anak muda seperti Rubio bisa habis selamanya. Si kecil Rubio akan jadi panggilannya yang abadi.
Memang begitu banyak yang marah kepada Trump: pimpinan partainya, kader-kader asli partai, wanita, keturunan Spanyol, Meksiko, RRT, Jepang, Eropa, Islam, dan kaum globalis. Dua mantan presiden dari Republik, George Bush dan bapaknya, bikin pernyataan: tidak akan mendukung Trump. Grup band Rolling Stone melarang Trump menggunakan lagu-lagunya. Penyanyi Inggris Adele juga bersikap sama.
Tapi, berbagai senjata untuk menghentikan Trump ternyata tumpul. Trump melaju sendirian. Dua calon presiden lainnya sudah lempar handuk.
Partai pun pasrah. Apa boleh buat. Trump praktis hampir resmi jadi calon presiden dari Partai Republik. Berhadapan dengan calon dari Partai Demokrat Hillary Clinton. Rencana mengganjal Trump di konvensi menjadi tidak relevan. Trump bukan hanya menang. Tapi, juga berhasil mencapai persentase kemenangan yang mutlak.
Memang awalnya tidak mengkhawatirkan. Hasil semua survei jelas: Hillary pasti menang. Bahkan, dilawankan Bernie Sanders pun, Trump pasti kalah. Tapi, pasang naik Trump belakangan ini mulai mengubah peta.
Kemenangan berturut-turut di 11 pemilu negara bagian terakhir ini bisa seperti Jamie Vardy di klub sepak bola Inggris Leicester (baca: Lesster, bukan Leicerter). Terus-menerus mencetak gol di 11 pertandingan.